"Zain, nggak boleh sembarangan bilang gitu ya," ucap Wira pada anaknya. Ia mengusap kepala anaknya itu.
Zain terdiam. Dalam pikiran polosnya, ia hanya mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Matanya itupun tidak dapat berbohong kalau dia sudah nyaman dengan tentornya tersebut.
***
Hari hari berlalu. Setelah kejadian itu, Wira benar-benar mengatur jadwal kerjannya dari pagi ke siang. Sore harinya ia di rumah menunggu waktu untuk menjemput Zain dari tempat bimbel. Dan sisa kerjaannya ia selesaikan saat malam hari tiba. Saat Zain sudah tertidur pulas, ia bangkit ke meja kerjanya.
Meski demikian, tetap ada beberapa hal yang tidak bisa dipastikan oleh Wira. Entah itu rapat dadakan dan hal-hal penting yang terkadang membuatnya takut tidak bisa menjemput Zain tepat waktu di bimbel. Namun sekarang ia sedikit lebih lega.
'Seharusnya aku nggak boleh seperti ini. Aku tenang karena sudah memberitahu Kirana kalau aku mungkin terlambat menjemput Zain. Ini sudah kebiasaan, aku seharusnya nggak bisa gini terus,' batin Zain. Ia baru saja menghubungi Kirana, memberitahunya mungkin dia sedikit terlambat menjemput anaknya itu.
Di ruangannya, Wira mengusap wajahnya dan menghela napas. Ia menatap fotonya bersama Zain dan Nailah. 'Tapi Zain juga sangat dekat dengannya. Bahkan Zain kelihatan senang kalau aku terlambat menjemputnya,' batin Wira lagi, mengingat anaknya itu.
Handphone Wira berbunyi, itu adalah rekan kerjanya. Ia langsung beranjak dan menepiskan untuk sementara kegundahan hatinya itu. "Sayang, bantu aku, aku harus apa," ucapnya pelan mengusap wajah Nailah yang penuh tawa pada bingkai foto itu. Ia pun berlalu.
***
Kirana pun bingung. Seakan ia tidak bisa melepas perhatiannya dari Zain. Saat mengajar di dalam kelas di mana ada Zain yang begitu pintar, membuatnya ikut bangga. Dan ketika ia mengajar kelas lain dan Zain berada di kelas pelajaran yang lain, ia justru sudah terbiasa memikirkan apakah anak itu akan dijemput tepat waktu oleh ayahnya atau tidak. Ia ikut khawatir membayangkan anak yang hanyalah muridnya itu, sama seperti murid lainnya.
Ia baru saja membalas pesan dari ayah Zain, yang mengatakan bahwa dirinya mungkin akan terlambat menjemput Zain. Bukannya keberatan, justru Kirana merasa lebih lega jika Wira memberinya kabar seperti itu, artinya ia tahu apa yang harus dia lakukan, yaitu menjaga Zain.
Setelah ia selesai mengajar, Zain pun selesai dari kelasnya, Kirana langsung mendatangi Zain. Mengatakan bahwa ayahnya sedikit terlambat menjemputnya.
"Yee!" sorak Zain semangat.
Kening Kirana berkerut. Anak itu tidak sedih sama sekali, atau kecewa pada ayahnya yang akan terlambat lagi menjemputnya, ia justru senang dan bersorak riang. "Zain kenapa senang?" tanya Kirana.
"Zain bisa main-main sama Miss Kirana," jawab Zain dengan semangat.
Kirana pun tersenyum dan ia mengusap kepala anak itu.
"Nanti malam aku telepon Miss Kirana lagi ya, Zain punya PR di sekolah," ucap Zain.
Kirana mengangguk. Entah mengapa ia tidak bisa menolak permintaan anak yang lugu itu. Lebih tepatnya ia prihatin pada Zain karena di usia yang seperti itu dan tidak memiliki ibu memang sangat sulit. Itu sebabnya ia kasihan jika ia harus menolaknya.
Namun tanpa Kirana sadari perhatiannya itu sudah lebih. Zain menganggap keakraban mereka akan selamanya seperti itu. Dengan sendirinya, Kirana membuat Zain merasa bahwa Kirana akan selalu ada untuknya.
***
Setelah setengah jam sejak Kirana dan Zain keluar kelas menunggu Wira, akhirnya ia pun datang. Kirana dan Zain sedang duduk berdua di lobi bimbel pada sebuah sofa panjang. Kirana memutar video berbasis pembelajaran yang unik kepada Zain untuk mengusir kejenuhan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 40 DAYS
RomanceKirana Syahla hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia sudah melangkah maju namun benang kepahitan masih mengikat kakinya dan menjerat langkahnya. Hal itu yang membuatnya selama ini takut membuka hati. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang anak b...