Tiba-tiba handphone Kirana berbunyi. Ada pamannya di sana sedang menghubunginya. Ia menghela napas panjang agar membuat suarannya terdengar baik-baik saja. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Karena mereka jarang sekali saling saling mengabari. Ia sangat takut mendengar kabar yang buruk."Assalamualaikum Kiran," sapa Salman.
"Waalaikumsalam, Om." Kirana menyahuti. "Om kenapa?" tanyanya pula panik ketika mendengar suara Salman seperti menangis.
"Nenek kamu meninggal Kiran," jelas Salman.
Bibir Kirana gemetar. Ia menunduk dalam membuat airmatanya kembali jatuh dan ia pun menangis terisak. "Innalillahi wainnailaihi raji'un..." lirihnya, menghela napas.
"Yang sabar ya Om," ucap Kirana.
"Kamu yang kuat ya Kiran," balas Salman.
Kirana terisak hingga membuat suaranya itu terputus. "I- iya Om, Kirana akan datang," ucapnya.
Panggilan itu berakhir. Kirana menangis menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sesak, sangat sesak. Beban ujian hidupnya terasa begitu banyak, bertingkat di pundaknya. Isaknya itu terputus-putus karena begitu sedih. Baru saja ia berhadapan dengan kemarahan Wira, kini ia dihadapkan kehilangan orang yang menjadi penyemangat dan tumpuannya selama ini.
Kirana bergegas. Ia harus berangkat cepat-cepat agar ia bisa bertemu dengan neneknya untuk terakhir kalinya. Sigap ia keluar rumah dengan membawa tas dan pakaian seadanya.
"Mbak Kiran ke mana?" tanya asisten rumah tangga yang melihat kepergian Kirana terburu-buru. Kirana masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan untuk mengantarkannya ke terminal.
***
Kirana menangis terisak tanpa berkata-kata memandangi wajah neneknya yang sudah pucat. Ketika ia sentuh, kulitnya pun sudah terasa dingin. Ia memeluk dan mencium neneknya. Air matanya tiada henti. Ia duduk di sebelah sang Nenek dengan tangisan yang begitu dalam, hatinya sesak.
Tidak ada lagi tumpuan dan tempat pengaduan Kirana. Ia benar-benar merasa sendiri sekarang. Suami pun tengah marah padanya. Ia benar-benar merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Seolah tidak ada yang bisa membantunya. Ia jatuh ke dalam lubang yang dalam dan begitu gelap. Ia pun tidak tahu apa yang ia lakukan selain mendongak pasrah dan melihat sedikit cahaya yang meneranginya.
Sementara itu...
Setelah mencari alasan untuk menjawab Zain yang menanyakan di mana Kirana, akhirnya Wira pun bisa membujuk dan mengantarkan Zain ke tempatnya bimbel. Wira juga tidak tahu ke mana Kirana pergi. Keterangan dari asisten rumah tangganya, Kirana pergi terburu-buru dengan menangis dan tidak sempat menjawab pertanyaannya yang menanyakan dia mau ke mana.
Wira hanya bisa meneguk ludahnya kelat bersama kemarahan dan kebenciannya. Dengan geram, ia menghubungi Lingga.
"Halo," sapa Lingga.
"Di mana Kirana?!" geram Wira.
Sesaat Lingga terdiam, lalu kemudian ia memainkan otak liciknya untuk memitnah Kirana.
"Jadi, kau sudah percaya? Tentu saja Kirana bersamaku sekarang," jawab Lingga.
Dada Wira naik turun karena emosi. Ia langsung mematikan panggilan itu.
Sampai nenek Kirana dikebumikan ke persemayaman terakhirnya, Wira masih tidak hadir di sana. Kirana tidak bisa berpikir lagi untuk memberitahunya. Ia merasa benar-benar membodoh dan tidak tahu harus bagaimana lagi.
Ia hanya menangis terus-menerus. Duduk di pusara sang Nenek dan menangis tersendu-sendu. Andai boleh mengeluh, ia pun ingin dijemput saja oleh neneknya agar dia ikut bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 40 DAYS
RomanceKirana Syahla hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia sudah melangkah maju namun benang kepahitan masih mengikat kakinya dan menjerat langkahnya. Hal itu yang membuatnya selama ini takut membuka hati. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang anak b...