Kinan menatap sekeliling ruangan dengan mata menyipit. Jam menunjukkan pukul 01.12 dini hari. Ruang rawatnya sudah sepi, tidak ada suara obrolan ataupun TV seperti sebelum ia tinggal tidur. Papanya sudah tidur lelap di sofa panjang yang ada di ruang rawatnya. Sedangkan Rikas tidur dikursi di sampingnya dengan kepala bertumpu pada brankar. Posisi yang tidak enak untuk di buat tidur, tapi pria itu terlihat nyenyak.
Kinan tersenyum tipis melihat pemandangan di hadapannya. Dua pria terbaik di hidupnya. Dua pria yang Kinan yakini tidak akan pernah menyakitinya.
Kinan mengusap rambut hitam Rikas yang mulai panjang. Sudah lama pria ini tidak potong rambut. Terakhir kali potong rambut saat liburan semester.
"Kenapa lo baik banget sama gue? Gue kan annoying." Ucap Kinan. Tangannya masih terus mengusap rambut Rikas.
"Alhamdulillah sadar diri."
Kinan spontan menjauhkan tangannya dari kepala Rikas, ia memegang dadanya yang berdetak kencang karena kaget tiba-tiba ada suara sahutan. "Ih, Rikas! Gue kaget." Kinan manyun. Jam segini kan jam-jam rawan, apalagi di rumah sakit. Kinan jadi parno.
Rikas mengusap wajahnya. "Lo kok bangun? Mau ke WC?"
Kinan menggeleng pelan. "Ke bangun aja. Terus gak bisa tidur lagi." Ucapnya. "Lo kok bangun? Perasaan nyenyak banget tidur lo." Kinan membalikkan pertanyaan. Dia benar-benar kaget Rikas tiba-tiba bangun.
"Ada yang usap-usap rambut gue, gue kira setan."
Kinan mencubit tangan Rikas kuat-kuat. "Jangan gitu!" ucap Kinan. "Besok mau pulang rumah aja. Gak mau disini."
Rikas terkekeh, ia meraih tangan Kinan dan menggenggamnya erat. "Bercanda. Kan ada gue, ada bokap lo juga."
Kinan masih memasang wajah cemberut. "Emang lo mau nginep disini terus?"
Rikas mengangguk.
"Sampe gue sembuh?"
"Iya."
"Beneran?"
"Ya Allah, iya, Kinan!" ucap Rikas gemas.
Kinan terdiam sembari menatap mata hitam milik Rikas. "Kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa lo baik banget sama gue? Gue annoying, gue cupu, gue nyusahin."
Rikas menghela nafasnya. "Tidur deh, Nan. Jam segini jam-jam overthinking,"
"Rikas, gue serius."
"Lo udah tau jawabannya, Kinan. Gue gak perlu jelasin panjang lebar lagi, kan?"
Kinan menarik tangannya dari genggaman Rikas. Ia mencengkram ujung selimut. "Tapi lo gak mendapat keuntungan apapun dengan berteman sama gue. Gue selalu nyusahin."
"Jadi lo pikir kita sahabatan selama ini simbiosis mutualisme? Terus keuntungan apa yang lo dapat dari gue?" Rahang Rikas mengeras, suara pria ini berubah dingin.
Kinan menunduk. Takut melihat ekspresi dingin Rikas. "Nggak... Nggak gitu, Kas," lirihnya.
Rikas menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia mengusap wajahnya, mengatur emosi dalam dadanya.
"Maaf, Kas. Gak gitu maksud gue."
Rikas menarik nafas panjang lalu menatap Kinan dengan emosi yang sudah stabil, raut wajahnya kembali tenang seperti biasa. "Gue gak pernah menganggap persahabatan kita itu simbiosis mutualisme, Nan. Gue kenal sama lo dari kita belum kenal huruf, dari kita kecil. Jangan pernah nanya-nanya lagi alasan gue bertahan sama lo ya, Nan, karena kalo gue punya alasan. Gue bisa kapan aja pergi dari hidup lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
KINAN
Teen FictionTentang mereka yang sudah saling membutuhkan. Tentang mereka yang berada dalam lingkaran persahabatan. Tentang Kinan si gadis pemalu. Tentang Rikas si ketua osis. Mungkin klise. Tetapi setiap cerita memiliki alur berbeda.