PART 7

1.4K 83 2
                                    

Rikas melempar tasnya ke atas meja dengan asal, kemudian berlari menuju ruang OSIS karena 15 menit lagi upacara akan berlangsung. Biasanya yang menyiapkan peralatan untuk upacara memang anak-anak OSIS dan yang menjadi petugas bergantian dari kelas 10, 11 dan 12.

"Siv, alat-alat udah semua?" Tanya Rikas, memeriksa peralatan untuk upacara yang berada dipojok ruang OSIS, ternyata sudah tidak ada. Berarti semua sudah dibawa ke lapangan.

"Semua udah disiapin anak-anak." Jawab Sivia dengan tenang sembari menarik satu kursi plastik. "Lo kok masuk sih?"

Rikas mengerutkan dahinya. "Emang kenapa?"

"Bukannya semalem abis kecelakaan? Gue kira lo gak masuk hari ini,"

Rikas terkekeh, mengambil map berisi teks UUD, pancasila, dan janji siswa dari loker. "Nad, mau ke lapangan?"

Nadia, gadis berjilbab yang baru saja menyelesaikan piketnya menyapu ruangan OSIS mengangguk. "Hari ini jadwalnya kelas gue yang jadi petugas."

"Kalo gitu ini teks-teksnya, nanti dibagiin aja ke anak kelas lo yang jadi petugas."

"Okee! Gue duluan ya, Kas, Siv," Nadia menepuk bahu Sivia pelan lalu keluar dari ruang OSIS dengan sedikit tergesa. Nadia ditunjuk sebagai pengibar bendera dan sejak tadi Revan si ketua kelas sudah berisik di grup mengumumkan untuk latihan sebentar di lapangan. Maklum ini upacara pertama di semester ini dan anak-anak kelasnya hanya sekali latihan, walaupun sudah pernah menjadi petugas upacara tetap saja ada rasa grogi.

"Ih, itu lukanya dijahit? Coba liat tangan lo!" Sivia menarik tangan Rikas yang diperban, mengeceknya sebentar. "Kok bisa kecelakaan sih, Kas? Kalian ditabrak? anak-anak heboh tau di grup gara-gara liat story Bisma dan lo gak nongol-nongol di grup. Bikin kita panik aja,"

Rikas menarik satu kursi di sisi kiri Sivia. "Diserempet mobil ugal-ugalan, kayaknya sih orang mabok."

"Terus gimana? Orangnya kabur?"

Rikas mengangguk. "Tapi udah diurus sama polisi. Untung Cuma dapet luka segini,"

"Untung apaan!" Sivia menepuk bahu Rikas. "Itu parah udah sampe dijahit."

"Ini itungannya gak parah, Siv. Cuma jahitan doang,"

"Sombong amat yang abis kecelakaan," Sivia mencibir. "Nanti gue nemuin pengelola tempat sama Dewa aja deh, lo istirahat aja. Luka masih merah gak boleh pergi jauh-jauh,"

Rikas tertawa. Melihat Sivia ngomel itu sudah biasa, bahkan sekretarisnya itu dijuluki ibu tiri oleh anak-anak OSIS karena cerewet dan sering marah-marah. "Gue gak papa kali, Siv. Kaki gue masih bisa dipake jalan dan tangan gue juga masih bisa digerakin,"

"Gue bilang nggak, nggak ya, Kas!"

"Siv, sumpah gue gak papa. Nanti ngurus perizinan juga kan, masa gue gak ikut. Ini udah tinggal 2 minggu lagi, banyak yang belum kita siapin, Siv. Gue udah izin ke Pak Yadi kalau 5 orang anak OSIS mau survey tempat untuk camping jam 10an, nanti Pak Yadi yang izin ke guru-guru,"

Pak Yadi adalah pembina OSIS dan guru paling ditakuti karena beliau yang biasanya memarahi anak-anak yang terlambat, apalagi hari senin. Selesai upacara, kalau siswa yang melakukan kesalahan banyak seperti tidak membawa topi, name tag, terlambat, maka siap-siap mendengarkan ceramah Pak Yadi selama setengah jam.

Sivia menggeleng. "Awas lo sampe kecapekan. Gue pecat jadi ketua!"

Rikas tertawa, tangannya terulur mengacak rambut panjang Sivia yang tergerai. "Sejak kapan sekretaris bisa mecat ketua?"

Sivia mendengus. "Punya ketua suka gak mikirin diri sendiri sih. Gak capek mikirin orang lain terus?"

"Siapa bilang gue mikiran orang lain, orang gue Cuma mikirin elo,"

KINANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang