Tokyo sudah memasuki musim dingin. Semua penduduknya mulai berlomba-lomba menggunakan pakaian tebal jika ingin melakukan aktivitas di luar rumah. Salju memang belum turun tapi angin yang berhembus bisa saja membekukan siapapun yang nekat keluar rumah tanpa baju hangat. Meski begitu, Tokyo tetaplah kota yang sibuk dengan populasi penduduk yang mayoritas adalah seorang pekerja. Tak heran kalau jalanan Tokyo tak pernah sepi atau lengang.
Aoyama Cementary tak begitu padat pengunjung di musim dingin. Hanya ada beberapa warga lokal yang sepertinya datang hanya untuk menghirup udara segar atau untuk berziarah ke sebuah makam kerabat.
Setelah mendapat izin keluar dari dokter dan dengan kebaikan hati dokter Arisu, Jeno mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Miyazaki Kevin yang telah meninggalkan dunia tujuh hari yang lalu. Setelah mengetahui kenyataan pahit tersebut, Jeno benar-benar merengek ingin bertemu Kevin. Kondisinya drop selama dua hari karena terlalu syok. Jeno juga menolak semua makanan yang diangsurkan ke mulutnya. Menolak bicara pada semua orang dan hanya diam dengan tatapan sendu. Hatinya benar-benar terguncang atas kenyataan bahwa Kevin telah pergi meninggalkannya. Dan yang membuat Jeno lebih hancur adalah ketika tahu bahwa Kevin memberikan sesuatu paling berharga miliknya--sepasang kornea agar ia bisa melihat lagi. Kevin benar-benar seperti asa yang hadir di tengah gelapnya dunia bagi Jeno.
"Saya akan berjalan-jalan sebentar di sekitar sini. Anda bisa menghubungj saya jika sudah selesai." Dokter Arisu menatap Dimas dan Anne bergantian ketika mereka telah tiba di pusara milik putranya itu.
Dimas dan Anne mengangguk. Mereka tahu pria itu belum sepenuhnya mampu menerima semua kenyataan ini. Mereka memahami itu. Dokter Arisu benar-benar pria yang hebat dan juga sosok ayah yang kuat dan tegar. Terlihat jelas di sorot hazelnya betapa ia berusaha keras menahan kesedihan mendalam. Kehilangan bukanlah keinginan dan impian semua orang melainkan sebuah keharusan yang mutlak akan diterima setiap manusia di dunia.
"Terima kasih banyak, Dokter." Dimas membungkuk sebagai rasa hormatnya pada pria di hadapannya yang dengan senang hati mengantarkan Jeno yang ingin berkunjung ke makam putranya. "Terima kasih sudah mengizinkan kami mengunjungi Kevin," katanya yang disambut anggukan pria tampan itu.
"Sudah seharusnya saya melakukan itu. Bagaimanapun, Jeno adalah seseorang yang berhasil membuat Kevin tidak merasa sendirian lagi selama menjalani perawatan di rumah sakit." sahut Dokter Arisu ramah.
Dimas dan Anne kembali membungkuk. Bersamaan dengan itu dokter Arisu meletakkan sebuket bunga aster di atas nisan yang bertuliskan nama putranya. Lantas menancapkan dupa disana kemudian merapatkan tangan serta menutup matanya selama beberapa detik. Memberi doa terbaik untuk sang putra yang sudah tenang di surga.
Pria itu lantas pamit. Tanpa menangis dan tetap tersenyum pria itu berjalan tegar meninggalkan pusara Kevin, putranya.
Dan kini tersisa Jeno yang duduk di kursi rodanya bersama Anne dan Dimas yang menemani di belakangnya. Di pangkuannya terdapat sebuket mawar putih yang disiapkan Johnny dan Damian sebelum datang berkunjung.Jeno melepaskan kacamata hitamnya lantas menatap penuh sesak pusara di depannya. Nisan besar dan tinggi itu bertuliskan nama Miyazaki Kevin dalam bahasa Jepang. Dibawah namanya terdapat sebuah tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Ia tak menyangka bisa berada disini. Dihadapan sebuah makam seseorang yang ia sayangi. Rasanya benar-benar menyakitkan. Sungguh. Dalam hidupnya ia tak pernah membayangkan sakitnya sebuah kehilangan.
Ia lantas menarik kursi rodanya mendekati pusara tersebut. Masih begitu banyak buket bunga disana. Ukiran nama Kevin di batu nisan pun terlihat masih sangat baru. Sebuah figura di letakkan di depan nisan besar dan tinggi itu. Figura dengan wajah yang Jeno yakini adalah Kevin. Tengah tersenyum dengan polosnya. Hati Jeno hancur sekali lagi. Air matanya jatuh ketika ia berusaha meletakkan buket bunga di pusara tersebut. Seperti dokter Arisu, ia lantas menancapkan dupa disana, menautkan kedua tangannya lantas menunduk seraya memejamkan matanya untuk merapal sebuah doa. Disaat itulah tangisnya pecah. Jeno terisak dalam doanya untuk Kevin.
KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE PRINCE
Fiksi Umum"Gue penasaran, kalau gue mati, gue bakal dikenang sebagai apa? Sebagai siapa? Gue merasa hidup gue gini-gini aja, nggak ada indah-indahnya. Yang ada monoton." - Jeno Wiratama, yang menyukai hujan, senja dan kesederhanaan.