👑 Failed

2.6K 295 73
                                    

Sekali lagi, Jeno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terus melakukan hal itu karena bosan. Sejak satu jam lalu ia harus tetap duduk tanpa melakukan apapun. Dan saat ini ia benar-benar gelisah karena tak bisa melakukan apapun. Tubuhnya terasa kaku karena hanya duduk diam tanpa melakukan apapun selama satu jam.

"Masih lama ya, Bun?" tanya Jeno untuk ke sekian kali pada ibunya.

"Sebentar lagi, Sayang." sahut Anne yang saat ini sibuk membuat campuran warna dengan cat lukisnya. Kegiatannya hari Minggu kali ini adalah melukis putranya sendiri di salah satu ruangan pribadinya. Awalnya Jeno menolak mentah-mentah ajakannya, namun setelah ia merayunya, anak itu akhirnya mengiyakan.

"Jeno haus, Bunda." rengek Jeno berusaha membuat alasan agar bisa enyah dari sofa yang di dudukinya.

Anne mendengar ucapan Jeno. Dengan cepat ia langsung menyambar ponselnya untuk menghubungi Mia. "Mia, tolong antar air putih dan beberapa cemilan, Jeno haus katanya." tutupnya setelah memberi perintah.

Jeno hanya bisa menghela napas panjang. Apa yang sebenarnya tengah di kerjakan ibunya disana. Entah dimana. Yang ia tahu, ia hanya diminta duduk dengan baik di sofa tanpa perlu melakukan apapun.

"Sebenarnya Bunda lagi apa sih?" tanya Jeno yang mulai sebal.

"Membuat sesuatu yang indah buat Jeno." sahut Anne yang mulai duduk kembali untuk melanjutkan kegiatan melukisnya.

"Jeno nggak mau di lukis ya, Bunda!" Jeno memekik sebal ketika bisa ia hirup aroma cat lukis yang amat sangat tajam di ruangan itu.

"Kenapa?" tanya Anne cuek. Tangannya sibuk memoles lukisannya dengan kuas yang sudah diberi cat.
"Bukannya Bunda sering melakukan ini dan Jeno nggak pernah protes." katanya.

"Percuma, Bunda. Jeno bahkan nggak akan bisa liat hasil lukisan Bunda." sahut Jeno sengit.

Anne menghentikan gerakan tangannya kemudian menghela napas pendek. "Kalau gitu Jeno nggak percaya keajaiban?" tanya Anne.

"Maksud Bunda?" Jeno malah balik tanya.

"Jeno nggak mau berharap bisa melihat lagi suatu saat nanti?" tandas Anne.

Jeno menghela napas panjang. Baginya harapan itu seperti harapan kosong. Seakan tak berarti. Dokter sudah menyatakan saraf pada matanya rusak parah akibat kecelakaan tersebut. Kemungkinan bisa melihat lagi pun sangat tipis. Operasi donor mata belum tentu berhasil sempurna kalau ia melakukannya.

"Jeno selalu berharap." gumam Jeno.

"Kalau gitu jangan bersikap pesimis." tukas Anne.

"Bunda," Jeno merengek lagi.

"Hmm?"

"Suatu saat nanti Jeno pengen pergi ke Sapporo sama Ayah dan Bunda. Main lempar salju disana dan naik gondola. Bisa nggak ya, Bun?" gumam Jeno.

Anne kembali menghentikan kegiatannya. Air mata entah sejak kapan sudah menetes dari pelupuk matanya. Ia lalu meletakkan kuas dan cat-nya demi menyeka air matanya.

"Jeno sama ayah bisa demam kalau terlalu lama di suhu dingin. Kenapa harus kesana?" tanya Anne.

"Jeno suka tempat itu. Ayah bahkan siap menemani Jeno kesana." sahut Jeno.

"Kalau gitu kita bisa pergi bertiga." ujar Anne antusias.

"Kapan, Bunda?" tanya Jeno.

"Kalau Jeno sudah sembuh dan membaik. Dan kalau dokter mengizinkan Jeno melakukan perjalanan jauh." jawab Anne.

"Kalau Jeno nggak sempat gimana?" tanya Jeno.

"Bunda nggak suka denger Jeno tanya macam-macam." Anne dengan cepat menyahut untuk ucapan Jeno yang mulai sarat akan nada pesimistis itu.

A LITTLE PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang