Rama tak menyangka akan kembali ke mansion bergaya klasik megah milik keluarga Wiratama siang itu. Ia pikir kedatangannya beberapa waktu lalu bersama ibunya adalah yang pertama dan akan menjadi yang terakhir pula. Mengingat saat itu Jeno memintanya pulang tanpa mengucapkan apapun padanya. Saat itu ia dan ibunya memang nekat datang. Waktunya benar-benar tidak tepat sama sekali. Suasana hati Jeno memburuk setelahnya ketika ia memberitahukan fakta mengejutkan tentang masa lalu. Yang merupakan salah satu kenangan terburuk bagi Jeno dalam hidupnya.
"Rumah lo selalu sepi begini?" tanya Rama ketika mendorong kursi roda Jeno memasuki ruang tamu. Johnny hanya mengantarnya sampai depan pintu tadi karena alasan harus segera memberi laporan pada Dimas kalau Jeno sudah sampai di rumah dengan selamat.
Jeno mengangguk. "Nggak asik ya?" terdengar ia terkekeh kecil.
Rama tak menyahut dan terus membawa kursi roda Jeno masuk semakin dalam ke mansion megah itu. Ketika ia hampir tiba di ruang tengah, beberapa maid datang dari berbagai penjuru. Mendekat ke arahnya dan Jeno. Salah satu maid tersebut mengambil alih ransel yang ada di pangkuan Jeno.
"Kasih ransel lo ke Mbak Sari, biar disimpan di kamar gue." titah Jeno pada Rama yang sudah menghentikan laju kursi rodanya.
Rama menurut saja. Ia lepaskan ransel dari bahunya kemudian memberikannya pada wanita bernametag Sari di seragam maid-nya."Bunda belum pulang ya, Mbak?" Jeno mengarahkan pandangannya pada maid bernama Sari itu.
"Belum, Tuan. Sepertinya sebentar lagi. Nyonya beberapa menit lalu memberi kabar sedang dalam perjalanan pulang." sahut Sari dengan senyum tipisnya.
Jeno manggut-manggut mengerti. Bersamaan dengan itu Johnny datang bersama Damian. Sari-pun pamit bersama para maid yang lain meninggalkan Jeno dan Rama.
"Jeno mau diantar ke kamar?" tanya Johnny.
Jeno menggeleng. "Disini aja," katanya.Damian sibuk mengusuk rambut hitam legam Jeno. "Sebentar lagi Mbak Mia selesai menyiapkan makan siang buat Jeno. Setelah makan langsung minum obatnya ya." katanya.
Jeno mengangguk. "Lo ikut makan juga sama gue ya," ia lantas menoleh ke arah Rama di belakangnya.
Rama mengangguk saja. Ia masih saja takjub dengan hidup Jeno yang benar-benar serba berkecukupan. Jeno benar-benar tak kekurangan apapun. Segala hal yang Jeno butuhkan tanpa diminta langsung terpenuhi. Segala hal yang Jeno inginkan akan segera terkabulkan tanpa perlu merengek. Hidup Jeno laksana pangeran kecil di negeri dongeng. Indah dan megah. Tanpa kurang apapun. Ia pernah merasakan hidup seperti Jeno meski hanya sesaat. Rasanya memang menyenangkan namun baginya memuakkan. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku bagi Jeno yang hidup penuh dengan cinta dan kasih sayang. Entah dari kedua orangtuanya maupun seluruh lapisan keluarganya.
"Selamat siang, Nyonya." sapaan Damian dan Johnny itu membuat lamunan Rama buyar. Ia dapati seorang wanita berjalan ke arahnya dan Jeno dengan senyum merekah.
"Selamat siang semuanya," sapa Anne usai menyerahkan handbag-nya pada salah satu maid yang mengikutinya.
"Hai, Tante." Rama mengurai senyum ramah pada Anne.
Anne membalas senyum Rama seraya mengusap lembut kepala remaja yang sebaya dengan putranya itu. "Rama ok?" tanyanya ramah.
"Ok, Tante." sahut Rama tak kalah ramah.
"Mama ok?" Anne kembali bertanya.
Rama mengangguk. "Tapi seperti biasa, selalu sibuk." keluhnya yang disambut tawa oleh Anne.
"It's ok. Semuanya buat Rama. Bukan buat yang lain." Anne gantian meremas lembut bahu Rama sembari tersenyum.
Rama mengangguk dan ikut mengurai senyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE PRINCE
Aktuelle Literatur"Gue penasaran, kalau gue mati, gue bakal dikenang sebagai apa? Sebagai siapa? Gue merasa hidup gue gini-gini aja, nggak ada indah-indahnya. Yang ada monoton." - Jeno Wiratama, yang menyukai hujan, senja dan kesederhanaan.