Anne hampir saja berteriak ketika tubuh Jeno hampir tersungkur kalau saja Dimas tak segera menahannya. Jantungnya berdegub cepat tiap kali melihat putranya itu berjuang pada sebuah paralel bar sepanjang dua setengah meter yang kini akan menjadi alat bantunya untuk melakukan fisioterapi dirumah.
"Kalau capek Jeno bisa istirahat dulu kok," seorang perawat laki-laki yang sejak tadi berdiri tak jauh dari paralel bar itu tersenyum pada Jeno yang sudah kembali berdiri tegap berkat bantuan Dimas.
"Satu kali lagi," Jeno nyengir meski peluh sudah membasahi hampir seluruh tubuhnya.
Seorang perawat perempuan tampak tersenyum takjub melihat betapa kerasnya usaha yang Jeno lakukan pada terapi pertamanya dirumah hari ini.
"Kalau capek bilang sama Ayah. Jangan terlalu dipaksakan, Jeno." ujar Dimas yang sejak tadi tak meninggalkan putranya itu barang sedetik pun dari paralel barnya.
Jeno mengangguk sembari mengurai senyum. Genggamannya semakin erat pada tiang paralel bar tersebut. Benda itu yang sejak tadi berhasil menguras seluruh tenaga dan peluhnya malam ini.
Anne tahu, putranya itu jelas lelah. Raut wajah Jeno tak bisa berbohong. Tapi sungguh, ia juga bisa melihat aura penuh semangat di setiap senyum yang di lontarkan putranya itu tiap kali tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh. Meski lelah, Jeno tak ingin merengek. Ia tahu betul kalau putranya itu adalah orang yang penuh semangat dan ambisi. Dan yang ia bisa hanya menatap pias putranya yang tengah berjuang keras itu sambil terus merapal doa dalam hati untuk kebaikannya.
"Semangat, Sayang." Anne mendekat dan memberi kecupan di kening putranya itu.
Jeno kembali mengangguk. Semangatnya kembali terpacu melihat senyum Ayah dan Ibunya kala itu. Pun ia mendapati Johnny dan Damian yang berdiri di ujung kolam renang sambil tersenyum seakan memberi semangat.
"Jeno mau main basket kalau udah bisa jalan lagi, Yah." Jeno menatap sang ayah yang masih setia berada di sisinya itu.
Dimas mengangguk. "Great. Jeno bisa melakukan apapun yang Jeno mau." katanya seraya mengacak pelan surai putranya yang sudah setengah basah karena peluh itu.
Jeno lantas kembali berusaha menggerakkan kakinya. Berusaha membuat sebuah langkah pendek sambil berpegangan erat pada paralel bar yang sengaja di letakkan Dimas di area tepi kolam renang yang ada di halaman belakang mansion-nya itu.
Dimas ketar-ketir sendiri ketika melihat putranya itu berusaha melangkahkan kaki dengan di pandu seorang perawat laki-laki yang kini berdiri di ujung paralel bar. Ia ikuti langkah patah-patah Jeno. Sungguh, seperti dejavu. Ia pernah merasakan perasaan seperti ini dulu ketika menemani Jeno belajar berjalan untuk pertama kalinya di usianya yang baru menginjak sepuluh bulan.
"You can, Axelle Jefranno." batin Dimas. Sesekali ia melirik Anne yang terlihat pias menatap usaha keras putra mereka itu.
Seperti sugesti, Jeno hampir mencapai ujung paralel bar-nya. Dimas sudah berdiri disebelah perawat disana untuk menunggu Jeno mendatanginya."Yeah, great. You won, Axelle Jefranno!" Dimas mengusap punggung Jeno yang baru saja berhasil menyelesaikan dua setengah meter paralel bar-nya. Anak itu segera menubruk tubuhnya di langkah terakhir. Tentu saja hal itu sukses membuat semua orang yang ada disana mengukir senyum lebar saking senangnya melihat pencapaian Jeno malam ini.
Pria itu benar-benar bahagia bukan main melihat perkembangan cukup signifikan yang di alami Jeno. Selama di Jepang, Jeno hanya mampu melangkahkan kakinya satu sampai dua langkah pendek. Setelahnya kelelahan dan harus beristirahat. Tapi setelah kembali ke rumah, kondisi putranya itu sepertinya semakin menunjukkan perkembangan hebat.

KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE PRINCE
General Fiction"Gue penasaran, kalau gue mati, gue bakal dikenang sebagai apa? Sebagai siapa? Gue merasa hidup gue gini-gini aja, nggak ada indah-indahnya. Yang ada monoton." - Jeno Wiratama, yang menyukai hujan, senja dan kesederhanaan.