"Winter has really comes, Anne." Dimas membuka pintu kamar Jeno dan mendapati wanita itu tengah mengecup kening putranya yang terlelap di tempat tidur hangatnya itu.
"Sst," Anne berbalik dan meletakkan telunjuknya di depan bibir meminta pria yang baru saja memasuki ruangan itu untuk jangan terlalu berisik.
"Dia baru aja tidur?" tanya Dimas seraya menatap tubuh putranya yang terbungkus selimut tebal sampai sebatas dada itu.
Anne mengangguk. "Hari melelahkan lainnya untuk Jeno. Setelah aku beri obat, beberapa menit kemudian dia terlelap." katanya.
Satu hari ini Jeno sibuk menjalani rangkaian terapinya di rumah sakit. Satu bulan lalu setelah bertemu dengan Chloe, keadaan Jeno mengalami peningkatan cukup signifikan. Jeno memutuskan tinggal lebih lama di Tokyo untuk melakukan apa yang dokter sarankan. Bertekad kuat untuk sembuh. Bertekad kuat untuk bisa berlari lagi. Dan bertekad kuat untuk bisa kembali hidup dengan normal. Anne tahu, seberapa kuat putranya itu berusaha. Berusaha untuk bangkit dari segala keterpurukannya. Berusaha bangkit dari segala luka hatinya. Dan berusaha membebaskan diri dari belenggu kesedihan yang menyiksa. Dan ia tahu, sekuat apa putranya itu menahan tangis ketika bayangan Kevin senantiasa menghantui. Jeno benar-benar melalui semuanya dengan baik selama satu bulan ini.
Dimas menghela napas panjang. "Sayang banget, salju pertama baru saja turun." lantas ia menatap Anne.
Anne lantas memandang ke luar jendela yang tirainya memang belum ia sempat tutup. Jeno yang memintanya tetap terbuka sampai ia akhirnya terlelap. Benar, salju tipis mulai berterbangan di udara. Tampak cantik dan teratur.
"Jeno pengen banget lihat salju pertama di Tokyo katanya," Anne lantas menatap Dimas.
"Kita bisa datang lagi di musim dingin tahun depan kalau Jeno berkenan," Dimas mengacak rambut wanita di hadapannya lantas tersenyum.
"Ya, selalu ada kesempatan lain." Anne ikut tersenyum.
Dimas lantas mendekati Jeno yang terlelap. Duduk di tepi ranjang hangat itu. Ia tatap lekat wajah putranya yang sedikit memerah. Pasti karena udara terlalu dingin. Tapi Anne tak pernah lupa memberikan penghangat ruangan disana.
"Jeno did well today," Dimas mengusap lembut pipi putranya itu. Bisa ia dengar napas pelan namun teraturnya. Jeno benar-benar nyenyak dalam tidurnya. Pasti karena pengaruh obat yang diberikan Anne.
"Salju pertama turun tepat di malam natal, Sayang. Harusnya kita bisa menikmatinya bersama sambil duduk di depan perapian bersama secangkir coklat panas." Dimas bergumam dengan senyum tipis terukir di bibir tipisnya.
"Tapi nggak masalah melewatkannya tahun ini. Ayah bisa memastikan kita nggak akan melewatkannya lagi tahun depan. Ayah janji, Jeno pasti bisa melihat salju pertama di Tokyo tahun berikutnya." lantas ia kecup pipi putranya itu.
"Have a great dream, Jeno-nya Ayah yang paling hebat!" bisiknya sebelum meninggalkan pipi hangat putranya itu.
Anne tersenyum mendengar deret kalimat yang di ucapkan Dimas pada Jeno. Ia berharap Tuhan memberi putranya itu mimpi indah. Bukan lagi mimpi buruk lainnya seperti yang selalu di alami Jeno selama ini. Setidaknya, Jeno-nya berhak mendapat sebuah keindahan meski hanya dalam mimpi. Agar tidurnya senantiasa damai tanpa perasaan takut seperti biasanya.
"How about some coffee?" tanya Anne ketika Dimas beranjak dari tempat tidur Jeno.
"I want a cup of hot chocolate," sahut Dimas.
Anne mengangguk sembari tersenyum. "Everything what you want," katanya.
"Ok, aku tunggu di ruang tengah." Dimas lantas meninggalkan Anne dan keluar dari ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE PRINCE
General Fiction"Gue penasaran, kalau gue mati, gue bakal dikenang sebagai apa? Sebagai siapa? Gue merasa hidup gue gini-gini aja, nggak ada indah-indahnya. Yang ada monoton." - Jeno Wiratama, yang menyukai hujan, senja dan kesederhanaan.