👑 Reality

2K 258 19
                                    

Damian tersenyum sekali lagi saat Jeno berhasil memasukkan sendok berisi makanan ke dalam mulutnya untuk yang ketiga kalinya. Anak itu benar-benar memiliki tekad yang kuat untuk sembuh. Melihat anak itu berusaha keras makan sendiri dalam keadaannya yang seperti ini membuat hatinya sedikit menghangat dan sedikit sakit. Jeno benar-benar tak mau menerima bantuan apapun darinya. Anak itu ingin melakukannya sendiri.

"Good boy," ia memberi komentar.

Jeno tak menyahut karena memang suaranya belum bisa keluar sampai sore ini. Alhasil ia hanya tetap fokus pada makanannya dan mengabaikan Damian yang sama sekali tak tahu seberapa besar usahanya untuk bisa menelan dengan baik dalam keadaan tenggorokan yang sedang infeksi.

Belum satu hari dipindahkan ke ruang rawat biasa, Jeno berhasil menunjukkan kemajuan yang signifikan, salah satunya bisa makan sendiri. Jeno juga berhasil menggenggam sendok dan gelasnya dengan baik tanpa terjatuh. Anak itu benar-benar ingin sembuh dan segera pulang ke rumah.

Damian lantas menyodorkan segelas air mineral pada Jeno yang baru saja meletakkan sendoknya. Sepertinya anak itu kelelahan. "Jeno boleh berhenti sebentar kalau capek, nanti bisa dilanjut lagi." katanya.

Jeno mengangguk. Ia menatap makanannya yang seperti belum berkurang itu. Padahal sejak tadi ia berusaha memindahkannya ke dalam perutnya. Tapi kenapa tak kunjung habis? Lagipula makanannya hanya bubur yang terlalu cair. Kenapa bisa ia begitu lamban melakukan hal seperti ini?

"Jeno sudah kenyang?" tanya Damian yang berhasil menangkap raut bingung di wajah Jeno.

Jeno menggeleng lantas menerima segelas air mineral dari Damian. Mendekatkan gelas tersebut ke mulutnya dengan gerakan pelan dan sedikit gemetar. Ia bertekad ingin bisa melakukannya sendiri. Toh hanya minum. Namun usahanya sia-sia. Tangannya tak sanggup menyampaikan gelas tersebut ke mulutnya. Alhasil ia menurunkan gelas tersebut dan menatap Damian.

Damian beranjak dari duduknya dan mendekati Jeno. Ia ambil alih gelas di tangan anak itu. Lantas memasukkan sebuah sedotan yang diberikan Anne padanya beberapa menit lalu. Ia melupakannya dan ia merasa bersalah pada Jeno.

"Nyonya Anne kasih ini. Maafkan saya, Jeno. Saya lupa." Damian mengulas senyum tak enak hati.

Jeno lantas menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis sambil terus menatap benda bernama sedotan yang kini bertengger di gelasnya. Ia pun kembali berusaha mendekatkan gelas tersebut ke mulutnya. Dan ia berhasil menangkap benda pipih itu dengan mulutnya. Rasanya segar sekali ketika kerongkongannya mendapatkan air.

Damian lega melihat perkembangan Jeno di hari keduanya setelah siuman. Meski anak itu belum bisa bicara karena ada sedikit infeksi di tenggorokannya, tapi Jeno terlihat lebih baik dari sebelumnya. Ia berharap setelah ini kondisinya akan terus membaik.
Ia terhenyak ketika sesuatu yang hangat menyentuh tangannya. Tangan Jeno dengan oxymeternya itu menyentuh jemarinya dengan gerakan pelan.

"Jeno butuh sesuatu?" tanyanya.

Jeno menggeleng. Lantas Damian mengambil alih gelas di tangan Jeno agar anak itu tak kesulitan. "Lalu?" ia bertanya lagi setelah meletakkan gelas di nakas.
Jeno menarik pelan tangan Damian hingga membuat pria itu mendekatinya. Dan ia letakkan tangan Damian di pangkuannya. Menuliskan sesuatu disana dengan terbata. Berharap Damian mengerti. Ia pernah melakukan ini pada ibunya.

"Ayah?" gumam Damian setelah Jeno menyelesaikan kegiatannya.

Jeno mengangguk sembari mengukir senyum menatap Damian.

"Ayah lagi menemui dokter sama Bunda. Jeno tunggu sebentar. Mereka sebentar lagi pasti kembali." jelas Damian perlahan agar Jeno mengerti.

Jeno mengangguk pelan.

A LITTLE PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang