Keputusan Dimas dan Anne untuk membawa Jeno menjalani pengobatan di Jepang benar-benar sudah bulat dan tak bisa di ganggu gugat. Melihat kondisi Jeno yang semakin mengkhawatirkan setiap hari membuat mereka harus segera mengambil langkah cepat. Dengan bantuan Bima dan beberapa orang kepercayaannya, Dimas telah selesai mengurus semua keperluan Jeno selama tinggal di Jepang nanti.
Selama di Jepang, Dimas akan membawa putranya itu ke The University of Tokyo Hospital, dimana rumah sakit tersebut adalah salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Dimas sudah memastikannya melalui salah satu orang kepercayaannya yang ia tugaskan di negeri sakura itu. Beberapa dokumen penting dan rekam medis milik Jeno juga sudah dikirimkan. Jeno akan menjadi salah satu pasien penerima donor mata disana.
Dan saat ini, disinilah Dimas. Duduk di sebelah Jeno yang sejak tadi belum bicara apapun. Sepertinya anak itu masih kesal karena tak mendapat izin pulang segera dari dokter.
"Jeno kalau dingin bilang sama Ayah." ujar Dimas seraya menatap putranya itu.
Jeno mengangguk. Pandangan kosongnya lurus ke depan. Ia sedang membayangkan keadaan saat ini melalui embusan angin yang sejak setengah jam lalu menemaninya yang duduk di halaman belakang.
"Jeno masih marah karena nggak boleh pulang sama dokter?" tanya Dimas.
Jeno diam saja. Bibir pucatnya benar-benar terkunci rapat. Ia benar-benar enggan membukanya untuk menjawab pertanyaan ayahnya.
"Jeno, boleh Ayah bicara sesuatu?" Dimas tak menyerah. Hari ini ia harus memberitahu Jeno tentang keputusannya dan Anne yang ingin membawanya ke Jepang.
Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat. Tapi sudah tidak ada waktu lagi. Jeno harus segera tahu. Keadaannya memburuk setiap harinya.
"Ayah mau membawa Jeno pergi ke Jepang." ucap Dimas setelah menahan napasnya selama beberapa detik.
Jeno belum memberi respons apapun. Masih diam membeku tanpa ekspresi apapun. Namun hatinya sungguh bergetar mendengar ucapan ayahnya barusan.
"Ayah mau Jeno sembuh. Ayah mau Jeno bisa melihat lagi. Dan Ayah mau Jeno bisa kembali menjalani kehidupan yang baik dan normal seperti sebelumnya." imbuh Dimas seraya menatap pias putranya yang masih diam saja. Sungguh, bukan seperti ini yang ia harapkan setelah memberitahu putranya itu.
Jeno enggan menjawab. Namun kedua matanya sudah memanas menahan air mata. Kesedihan luar biasa tiba-tiba menguasai dirinya. Bahkan sampai bagian terdalam hatinya. Rasanya benar-benar menyesakkan. Sungguh.
"Maafkan Ayah sama Bunda kalau harus membawa Jeno pergi jauh dari sini. Ayah tahu, banyak mimpi yang ingin Jeno wujudkan disini. Ayah juga tahu, begitu banyak hal yang ingin Jeno lakukan bersama Juna, Jeremy dan Chandra disini." ujar Dimas sendu. Ia mampu melihat kedua mata bening Jeno yang mulai berair.
"Bukan maksud Ayah mengikis semua yang sudah Jeno rencanakan dengan baik. Ayah cuma mau Jeno sembuh." imbuh Dimas.
Air mata Jeno meluncur sempurna dari pelupuk matanya.
"Ayah cuma mau memupuk asa yang Jeno miliki. Ayah yakin, Jeno bisa kembali seperti dulu. Jeno bisa main basket lagi. Jeno bisa berlari lagi. Jeno bisa latihan taekwondo lagi. Bahkan Jeno bisa pergi ke Sapporo tanpa rasa khawatir." Dimas mengusuk rambut putranya itu.
"Ayah akan selalu ada disisi Jeno." katanya.
"Ayah..."
"Hmm..."
"Jeno sayang sama Ayah." gumam Jeno di sela tangisnya.
Dimas refleks memeluk putranya itu. Ia kecup puncak kepala Jeno dengan penuh rasa sayang. Sungguh rasanya teramat berat mengatakan banyak hal seperti barusan pada Jeno. Tapi ia hanya ingin bisa kembali memupuk asa yang Jeno miliki. Ia ingin putranya tak berhenti berjuang. Ia ingin Jeno berusaha sekali lagi. Jika memang Tuhan berkata lain, setidaknya tak akan ada penyesalan di kemudian hari.

KAMU SEDANG MEMBACA
A LITTLE PRINCE
Fiction générale"Gue penasaran, kalau gue mati, gue bakal dikenang sebagai apa? Sebagai siapa? Gue merasa hidup gue gini-gini aja, nggak ada indah-indahnya. Yang ada monoton." - Jeno Wiratama, yang menyukai hujan, senja dan kesederhanaan.