36. Premier 2

35 24 0
                                    

Now playing; Last Child—Seluruh Nafas Ini

Ada satu hal yang paling Naka tunggu —entah itu sebelum lolos casting dan saat menjadi aktris masih terpupuk jadi mimpinya, maupun saat akhirnya berhasil merasakan pengalaman di lokasi syuting setelah bertahun-tahun memendam mimpinya—yaitu penayangan perdana sebuah film. Entahlah. Rasanya menyenangkan dan seolah ada yang membuncah melihat banyak orang dengan para pemain.

Dulu, Naka sering menghadiri premier bersama Tara. Seketika Naka menjadi besar kepala. Ingin menunjukkan betapa hebatnya dia dapat bertemu para pemain secara langsung dan ditawari berhadapan dengan kamera untuk memberi ulasan. Mall kala itu jadi tempat sejuk sekaligus gerah. Perjuangannya hingga berkeringat dan berhimpitan untuk mengambil foto dengan para artis pun membuahkan hasil.

Tapi semenjak mengenal Ryu dan Theo, mendapatkan foto dan tiket premier bukan lagi hal sulit. Naka tak perlu lagi berhimpitan dan mengeluarkan biaya.

Namun tetap saja, perjuangan dari sebuah hasil adalah hal yang paling berharga. Momennya tak dapat terlupakan. Beda dengan sekarang yang serba dengan mudah Naka dapatkan.

Dan sekarang, Naka kembali merasakan perasaan yang membuncah itu. Bukan lagi untuk jadi penonton dan penggemar, melainkan untuk jadi orang yang ditonton dan digemari. Bukan lagi untuk mengulas film, namun untuk tebar pesona sekaligus mempromosikan filmnya sendiri. Oh. Jangan salah. Naka tidak munafik kalau dia suka saat wajah dengan pulasan makeup-nya tertampil. Katanya, kapan lagi dia berdandan begitu.

Semenjak kamera yang dipakai untuk dokumentasi menyala, Naka tak henti-hentinya tersenyum dan melambaikan tangan.

Meski justru, ketidakmunafikkan gadis itu dia jadikan bahan penyamaran untuk menutupi dirinya yang rapuh. Berbeda dengan acara-acara di tahun sebelumnya, ini adalah kali kedua Naka merasa ada hal lain selain rasa membuncah di dada. Yakni rasa kehilangan teramat dalam. Rasa ingin tahu. Dan rasa cemas setengah mati.

Tanpa Ryu, tanpa kabar cowok itu, dan tanpa semangat dukungannya, semua kacau. Hati Naka terasa diobrak-abrik.

"Naya!"

Sekarang Naka tahu berada di posisi orang-orang yang berpacaran. Mereka merasa dunianya berpusat pada satu orang. Naka pun begitu. Dan ketika seseorang itu hilang, dunianya otomatis berhenti, bukan?

"Naya!"

Naka tersentak kaget sampai stylish yang sedang merapikan model twisted low bun pada rambutnya turut beringsut mundur.

"Kakak panggil dari tadi. Kenapa?" Theo bertanya lembut. Membuat Naka seolah merasa, manusia di hadapannya diciptakan layaknya malaikat. "Ada masalah?"

Naka menggeleng. "Nggak. Ada apa emang?"

"Kita harus turun sekarang. Pemain lainnya udah stay di depan. Nanti kita turun eskalator barengan."

"Oh oke." Naka menatap stylish di depannya. "Kak, udah beres kan?"

Wanita itu mengangguk. "Udah." Lalu disambung dengan senyum. "Semoga lancar ya kalian semua."

"Iya, makasih, Kak."

Theo dan Naka menjawab bersamaan sebelum tanpa peringatan, Naka melingkarkan tangannya, menggandeng lengan Theo dengan wajah polos. Bibir Theo berkedut menahan senyum. Cowok itu tidak menegur bahkan untuk menepis pun sungkan. Naka mungkin sedang banyak melamun.

Mengingat ada satu masalah yang mencokol di benak dan pikirannya.

Mereka berjalan beriringan, disusul Drew dan pemain lainnya, menyusuri lorong mall, lantas turun menggunakan eskalator sebelum gemerlap cahaya menyorot bersahutan saat mereka tiba di depan bioskop. Membuat Theo dapat dengan jelas melihat Naka yang bersinar dibalut maxi dress selututnya.

RYUDA : Bad Angel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang