48. Kelemahan Banyak Orang

47 24 0
                                    

Dalam sekejap mata, kegelapan yang semula menghuni pandangan Ryu kini berganti dengan pemandangan siang hari dihiasi terik matahari. Hiruk pikuk orang-orang yang terus melontarkan istilah-istilah medis yang beberapa di antaranya tak dia ketahui tidak lagi masuk memenuhi pendengarannya. Hanya ada keheningan disusul siulan angin.

Sementara di depan, sebuah bangunan yang dia yakini adalah rumah masa kecilnya, menjulang tinggi. Entah bagaimana caranya Ryu bisa berdiri di sana tanpa susah-payah memohon pada penjaga untuk membukakan gerbang utama.

Dan entah mengapa ketika melihat pintu rumah yang tertutup, ada dorongan dari dalam diri Ryu untuk membukanya dan menyelonong masuk. Ada secercah harapan kalau dirinya akan disambut baik di sana.

Namun begitu selesai menutup pintu kembali, Ryu sadar ekspektasinya terlalu tinggi hingga dirinya ditampar kenyataan. Ryu salah telah berharap. Semua harapannya tidak akan terwujud dan malah menjadi bumerang baginya. Yang Ryu dapatkan bukan sambutan baik, melainkan pemandangan dirinya yang berusia tiga belas tahun mendapat pukulan keras dari Papa.

Ryu kecil dibuat tersungkur, menatap kosong ke depan sambil berusaha bangun.

"Lihat nilai kamu!" Papa berseru sambil menunjukkan beberapa carik kertas ulangan. Tak hanya sampai di situ, Papa bahkan menggulungnya seraya memukulkannya pada bahu Ryu. "Hancur, Ryuda! Kamu ini jadi anak nggak berguna! Apa yang bisa Papa banggakan dari kamu?!"

Seiring bibirnya yang bergetar, isakan mulai keluar dari mulut Ryu.

"Anak-anak teman Papa di luar sana sukses melanjutkan perjalanan orang tuanya. Mereka aktif dan baik secara akademik. Mereka bisa jadi apa yang orang tuanya inginkan, bahkan mereka bisa lebih!" terang Papa, lalu mendelik sebelum mengarahkan telunjuk kuat-kuat pada Ryu. "Sementara kamu? Sok-sokan mau jadi aktor!"

"Tapi itu cita-cita aku." Ryu membalas. "Aku pengen dikenal sendiri dan nggak mau orang-orang lihat aku setelah lihat siapa Papa."

"Kamu masih terlalu kecil buat menggapai cita-cita kamu! Fokus belajar, Ryuda! Kamu itu pewaris keluarga Dewanta!"

"Setiap orang punya impian masing-masing. Aku nggak mau hidup di lingkaran seseorang. Aku mau bebas. Tanpa Papa, tanpa Mama!"

Satu tamparan keras yang teramat mendadak sukses membuat Ryu bungkam.

Papa mencengkram kuat dagu Ryu. "Mau jadi apa kamu hidup bebas begitu? Mau jadi berandalan?! Liat orang-orang di luar sana! Hidupnya cuma dihabiskan untuk merusak diri! Kamu mau kayak mereka?!"

Air mata leleh menghiasi pipi Ryu untuk yang ke sekian kalinya. Namun kali ini dia berhasil bangkit setelah menepis tangan Papa. "Seenggaknya mereka nggak busuk kayak Papa!"

Satu kali lagi tamparan mendarat di pipi Ryu.

"Anak kurang ajar! Berani melawan ha?!"

"Papa itu orang yang sok-sokan berprinsip. Tindakan Papa itu udah otoriter! Aku nggak akan mempan kalau Papa terus begini. Malah akan makin membangkang!" Ryu menegaskan kata-katanya sebelum berlalu meninggalkan Papa yang mematung.

Ryu sendiri yang masih mematung tanpa ada yang melihat, tidak ingat kapan dan bagaimana dia mengatakan itu semua. Dulu, Ryu tidak berani melawan Papa. Meski sebenarnya, diam-diam dia mengambil langkah yang tidak pernah Papa setujui. Atau mungkin, ini salah satu dari banyaknya perasaan yang selalu Ryu pendam.

RYUDA : Bad Angel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang