"Ruvha.." Panggil seorang gadis dengan ceria ditempat duduknya. Ia tersenyum manis ketika Ruvha duduk disebelahnya seperti biasa.
"Gimana? Lo udah ketemu dia?" Tanya Foral sangat eksited tanpa mengetahui yang sebenarnya terjadi.
"Gue kesana, tapi kami gak ketemu." Jawab Ruvha santai sambil melepas tas dari pundaknya dan mengambil ponsel dari saku. Ia sedikit teringat dengan cafe kemarin, pantas saja ia merasa familiar ternyata itu cafe yang seharusnya menjadi tempat pertemuannya dengan seorang laki-laki lebih tepatnya teman Foral yang dijodohkan oleh Foral sendiri kepadanya.
"Lho kenapa? Bukannya udah sepakat? Dia batalin ya?" Foral masih saja bertanya, dari dulu dia memang yang paling bersemangat soal percintaan Ruvha. Gadis itu selalu memaksa Ruvha untuk menemui beberapa kenalannya tiap akhir pekan, walaupun tidak ada yang berhasil. Sebenarnya Foral hanya merasa aneh, kenapa temannya yang terbilang sangat cantik dan berkepribadian baik ini belum juga memiliki kekasih.
Ruvha menatap ponselnya sambil menjawab, "Entahlah." Singkat dan tak acuh dengan mengedikkan bahu, padahal ia memang tak menemuinya. Sebenarnya kemarin Ruvha melihat seseorang dan mirip dengan foto yang Foral tunjukkan, tapi ia tak menghampirinya karena Zeris terus berjalan dan malah ke lantai atas.
Foral yang mendengar itu terlihat berpikir sejenak dan kembali bersuara, "Tapi kenapa Letan gak ngabarin gue. Yaudahlah. Hmm gimana kalo sama Dio-.." Ujarnya langsung dipotong Ruvha tanpa menatapnya.
"Gak usah. Gak perlu." Kata-kata Ruvha berhasil membungkam Foral yang langsung diam sampai jam pelajaran dimulai.
Mereka semua memperhatikan guru yang sedang menerangkan materi. Setelah bel berbunyi semua sibuk sendiri dan bergegas kekantin.
"Ruvha ke kantin yuk." Ajak Foral, entah kenapa gadis itu selalu bersemangat dan seolah semua yang dia lakukan sungguh menantang.
"Gak ah lo aja." Ruvha hanya bersandar pada kursinya dan membuka ponselnya tanpa minat kekantin sama sekali.
"Ini nih, makanya lo gak ada yang deketin! Mau keluar kelas aja gak mau! Ayo lah... kantin... yah?..." Foral berkata dengan memelas menyatukan telapak tangannya seolah memohon.
Melihat itu Ruvha dengan terpaksa menurutinya, ia menaruh ponsel di saku roknya dengan Foral yang langsung menarik tangannya tak membiarkan kesempatan itu hilang.
Sampai dikantin Foral menyuruhnya duduk disalah satu kursi yang terletak didekat jendela besar didalam kantin sekolah mereka. Ia hanya menurut, selagi menunggu Foral memesan makanan Ruvha hanya duduk melihat keluar, beberapa siswa laki-laki sedang berlatih basket karena setahunya bulan depan sekolah mereka akan mengadakan festival dengan berbagai lomba salah satunya basket yang paling digemari apalagi bagi siswa perempuan yang selalu berteriak ketika menontonnya.
Seseorang duduk di kursi seberangnya membuat Ruvha menoleh karena mengira Foral selesai memesan. Namun tidak ada apapun diatas meja, dimana nampan makanannya. Ia menaikkan pandangan ternyata Zeris yang duduk disana dan menatapnya dingin.
"Kenapa?" Tanya Ruvha heran dengan kedatangan Zeris yang tiba-tiba.
"Munafik?" Zeris bicara dengan nada bertanya tentang hal yang sama sekali tidak Ruvha mengerti. Gadis itu hanya diam menatapnya, menunggu kata selanjutnya yang mungkin keluar. Namun mereka sama-sama diam.
"Tidak usah pura-pura bingung. Lo tau definisi munafik? Ngaca!." Sambung Zeris seketika kalimatnya itu membuat Ruvha kesal setengah mati. Apa apaan dia tiba-tiba datang dan mengatakan dirinya munafik tanpa alasan. Namun sebelum Ruvha membalas kalimatnya Zeriz terlebih dulu memotong.
"Jangan pikir gue gak tau apa yang lo omongin waktu minta untuk batalin pertunangannya. Kali ini gue maafin, walaupun pertunangan tetep gak batal. Tapi lain kali, jangan harap lo bisa ngelak." Lagi-lagi perkataan yang tidak Ruvha mengerti sama sekali, ada apa dengan laki-laki itu, kenapa ia selalu saja bicara dengan menyalahkannya.
Dan apa maksudnya yang diomongin waktu minta untuk batalin pertunangannya padahal orang tuanya saja belum pulang kerumah.
Belum sempat Ruvha bersuara, Zeris langsung bangkit dan pergi. Sampai akhir tatapannya sangat tajam dan penuh amarah. Tepat setelahnya Foral datang membawa makanan mereka.
"Lho? Zeris dari sini? Dia ngomongin apaan sama lo?" Pertanyaan simpel yang membuat Ruvha bingung untuk menjawabnya, kalau tidak dijawab malah akan menciptakan kecurigaan.
Namun jika mengatakan yang sebenarnya kemungkinan besar satu sekolah akan tahu hal itu padahal mereka berencana membatalkannya, dan jangan lupa jika itu terjadi maka Zeris akan datang padanya dan kembali menyalahkannya.
"Gak ada. Dia nanya kelas kita bikin tema apa untuk festival, karena mereka gak mau samaan apalagi posisi difestival bakal sebelahan." Jawab Ruvha setelah memikirkan berbagai kemungkinan.
"Terus lo jawab apa?" Foral kembali bertanya sambil menyeruput minumannya, gadis itu memang sangat kepo ternyata.
"Gue jawab belum ada." Ruvha ingat beberapa hari yang lalu mereka sekelas sempat berembuk dan menyuarakan pendapat namun belum menemukan hasil untuk tema kelasnya saat festival nanti.
Foral hanya mengangguk paham dan langsung menyantap baksonya lahap, berbeda dengan Ruvha yang makan perlahan sambil memikirkan kalimat Zeris tadi.
Sekarang disinilah mereka, duduk ditribun lapangan basket. Foral yang memaksa untuk kesana karena kekasihnya Gema, orang yang sedang memegang bola dan satu lemparan barusan menciptakan poin untuk tim mereka.
Telinga Ruvha berdengung mendengar teriakan heboh dengan tepuk tangan Foral yang kuat. Gadis itu tak bisa menikmati menonton permainan karena disekelilingnya sangat ramai dan para gadis yang berdiri dengan sorakan heboh mereka sehingga menutupi Ruvha yang enggan bergabung. Sudah cukup ia bersedia ikut, ia tidak mau disuruh untuk bersorak juga.
Namun tanpa ia sadari ternyata Zeris juga bermain basket disana, dan dibalik orang-orang yang berdiri di tribun Zeris dapat melihat seorang yang familiar. Ia menatapnya sebentar dan hal yang masih hangat terlintas diingatannya.
"Kenapa?" Tanya Cafar dingin menatap putra nya yang berdiri dengan wajah bingung.
"Kenapa kau berniat membatalkannya?!" Pria dengan usia yang tidak lagi muda namun masih segar dan tampan, sangat jelas terlihat diwajahnya guratan amarah yang ia tahan.
Zeris hanya diam menatapnya, ia berpikir dari mana Cafar tahu soal itu. Sekarang ia tak tahu harus menjawab apa... lama diam Cafar pun menunggunya yang terlihat berpikir untuk menjawab. Cafar mengharapkan alasan yang bagus.
"Bukan aku. Tapi gadis itu yang minta." Jawab Zeris seolah jawabannya memang yang sebenarnya. Dari tadi ia bertanya-tanya bagaimana orang tuanya bisa mengetahui itu dan seketika dia ingat kalimat 'Tanpa menyentuhnya', jadi karena ini. Tentu saja gadis munafik itu yang mengatakannya dan menumpahkan semua ini padanya.
PLAKK
Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan Zeris, walau ini tak sekeras biasanya namun masih terasa perih baginya. Ia tidak kaget lagi dengan hal ini, seperti sudah makanan sehari-harinya ditampar, dipukul, dicaci maki, dan sebagainya.
Ia hanya perlu kembali berdiri tegak seolah tamparan tadi bukan apa-apa dan siap mendengar ocehan bahkan menahan pukulan lainnya.
Benar saja, Cafar terus memukulnya dengan kalimat pedas terus keluar dari mulutnya. Cafar mengatakan kalau ia tahu Zeris yang berniat membatalkannya bahkan jika benar Ruvha yang menginginkannya pasti Zeris telah melakukan kesalahan.
Ia terus dipukul dan akan berhenti sampai Cafar sendiri yang merasa lelah.
"Ris! Lo kenapa?" Geno menepuk pundak Zeris yang langsung tersadar. Ia menggeleng sesaat dan kembali bermain, tanpa ia sadari kalau beberapa menit telah berlalu dan sebelumnya gadis itu menyadari Zeris menatapnya dengan tatapan kosong.
.
.
.
.
.
.Next...
KAMU SEDANG MEMBACA
Halayacrep
Teen FictionJangan bertanya apa kesalahanmu. Karena aku yang salah... percaya bahwa kau akan memperbaiki segalanya ~Ruvha Wethaloria Gadis manis itu diam dengan tatapan terluka, mati-matian menahan air mata yang akan tumpah jika saja lelaki itu tak menatapnya...