Palsu

36 4 3
                                    

Gadis itu berdiri serta tertunduk dengan gusar diliputi rasa takut dan khawatirnya yang sangat besar. Menunggu empat orang yang duduk dihadapannya untuk berbicara. Lama semua keheningan melingkupi mereka dengan pikirannya masing-masing hanya karena satu masalah yang gadis itu lakukan.

"Mau kamu apa sebenernya?!" Wanita paruh baya yang masih sangat cantik serta kulit yang masih kencang dan segar tentu saja efek dari berbagai perawatan mahal yang ia lakukan, tak heran dirinya merupakan istri dari pengusaha besar.

Mendengar ibunya sudah buka suara, anak gadisnya yang bernama Reina ikut bicara. "Cih. Gak tau diri banget sih jadi cewek. Bukannya bersyukur udah dikasih kenyamanan malah main cowok diluar sana." Ujarnya sarkas, sangat terlihat Reina begitu membenci gadis dihadapannya ini.

"Pantes sih, lo kan gak pernah ngerasain hidup enak. Jadi sekalinya nyoba malah pengen hal lain, sampe lupa kalo dapetin ini gak mudah. Lo pikir kami bakal sesayang itu dengan lo yang belum lama tinggal disini, sampe apapun yang lo lakuin itu bisa dimaklumi? Nggak. Jangan pikir gue udah anggap lo adek gue cuma karena kita tinggal serumah selama enam tahun." Sambungnya semakin menjadi meluapkan kekesalannya.

Tidak berani buka suara gadis yang tak lain adalah Mona itu semakin tertunduk dalam mendengar perkataan Reina yang begitu merendahkannya, ditambah Alise yang pandangan matanya jauh berbeda dari sebelumnya.

"Kenapa lo nunduk sekarang?! Biasanya tu dagu sama leher jauh-jauhan gak kurang empat puluh lima derajat!" Kembali dengan omongan pedasnya melihat Mona yang diam saja tak berani menatapnya apalagi menjawabnya.

Sementara Mona masih asing dengan perlakuan ini, sedari awal masuk kerumah ini ia selalu diperlakukan dengan sangat baik. Semua yang ia butuhkan dan inginkan sangat mudah didapat, bahkan hal yang mustahil sekalipun. Tapi kali ini ia benar-benar disudutkan.

"Kamu udah gak sabar pulang ke panti ya?" Tanya Alise yang sudah jengah dengan gadis seusia anak laki-lakinya itu. Selama ini dia diam dan memperlakukannya dengan baik hanya karena mereka membutuhkan gadis itu, tapi saat ini percuma.

Melihat Mona hanya diam membuat Reiro menatapnya dengan alis yang sedikit menyatu. Menyadari Reiro yang menatapnya Mona langsung menoleh dan mata mereka bertemu. Gadis itu menatapnya seolah meminta pertolongan berharap Reiro akan melindunginya seperti yang sering laki-laki itu lakukan, namun kalimat yang Reiro keluarkan membuatnya terkejut bukan main.

"Kalo ditanya itu jawab! Punya mulut kan?!" Sangat berbeda, Reiro seolah menjadi orang lain. Kemana sikapnya yang lembut dan selalu membantunya disaat dirinya kesulitan. Merasakan ini membuat Mona benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang hingga tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja. Hal ini tentu tak luput dari pandangan mereka yang ada disana.

"Gak usah nangis lo! Giliran gini aja lo nangis, gak cocok sama kepribadian lo yang congkak kaya biasanya!" Reina kembali bersuara. Kalimat-kalimat jahatnya tidak dihentikan oleh siapapun, adiknya dan kedua orang tuanya justru merasa terwakilkan dengan perkataannya itu.

"Biasanya lo udah kaya nyonya rumah aja!" Sindirnya mengingat hal yang biasa terjadi.

"Gini ya gue kasih tau. Lo pasti selama ini nyaman banget kan? Ngerasa kalo kami semua sayang banget sama lo. Awalnya iya, mungkin. Tapi... karena lo malah jadi gak tau diri, yah kami mikir lah ngapain peduli sama orang yang gak tau terimakasih. Tapi sekali lagi, kami masih perlu dengan kehadiran lo disini sebagai tunangan adik gue. Jadi mau gak mau kami pura-pura peduli dan sayang. Capek loh, enam tahun tuh lama juga. Walaupun kali ini lo buat masalah besar dan jelas sedikit ngerusak nama Rafonso tapi gue sendiri berterimakasih karena lo udah buat jalan sendiri untuk keluar dari sini dan kami gak perlu repot-repot cari alasan buat usir lo." Fakta itu tentu saja membuat Mona yang tidak mengerti maksudnya berniat untuk bertanya namun terpotong oleh kalimat Reina berikutnya.

"Dan satu hal lagi. Asal lo tau, lo cuma dijadiin tameng untuk tunangan Reiro yang sebenernya. Dengan kata lain lo cuma tunangan palsu demi ngelindungin tunangan asli. Siapa? Lo gak perlu tau. Toh bentar lagi lo bakal tau. Jadi, udah selesai peran lo sebagai pelindung. Karena sekarang lo sendiri udah ungkap siapa lo sebenernya dan akhirnya lo gak berfungsi lagi. Selamat berkat perbuatan lo musuh-musuh diluaran sana udah gak ngincar lo lagi, mereka akhirnya sadar bukan lo targetnya. Dan gue tegasin lagi, ini semua karena kesalahan lo cewek kampung, kami harus beresin semuanya dan susah payah lagi cari cara buat ngelindungi tunangan Reiro, calon adik ipar gue yang sebenarnya." Sambung Reina yang makin membuat Mona tidak mengerti. Tunangan palsu? Tunangan asli? Musuh-musuh yang gak ngincar lagi? Target? Ngelindungi tunangan Reiro? Mona tidak mengerti semua itu, kecuali tunangan Reiro siapa? Ya sudah pasti dirinya, karena selama ini begitu dan akan terus seperti itu. Tapi apa maksudnya adik ipar Reina yang sebenarnya? Pikiran Mona terus berputar disana, tanpa mau berhenti, tanpa mau mengalah.

Melihat biang masalah dikeluarganya saat ini menunjukkan wajah seolah bingung dan membuat Reina makin jengkel, ia menghela kasar dan mencoba untuk tenang.

"Bego sih kalo lo ga sadar. Lo sering ngerasa diikuti orang kan? Sering terlibat masalah orang lain? Selalu andil beresin masalah bareng Reiro, dengan alasan lo wakil ketos? Reiro memperlakukan lo dengan baik cuma diluar tembok rumah ini? Ngerasa janggal kan? Semuanya bener, tapi mungkin lo yang gak sadar." Terang Reina mencoba dengan kalimat yang lebih simple dan sesuai dengan apa yang terjadi sebelumnya, berharap gadis bodoh dihadapannya akan paham maksud perkataannya.

Mona berusaha mengingat semua yang terjadi selama enam tahun terakhir. Ia memang sering merasa diikuti saat dirinya sendiri apalagi diluar sekolah dan kembali merasa aman saat Reiro disampingnya. Kalau terlibat masalah orang lain, tentu saja karena ia selaku wakil ketos harus selalu bersama Reiro yang sebagaimana mestinya seorang ketos selalu mengurus masalah-masalah yang terjadi disekolah. Reiro yang baik hanya saat diluar rumah sepertinya keliru, karena saat dirumah pun Reiro selalu memperlakukannya dengan baik, contohnya saja laki-laki itu sering memeluknya ketika berada dibalkon sebelum ia tidur dengan alasan agar tidurnya lebih nyenyak, bukankah itu hal yang romantis?

Namun, tetap saja ada satu hal yang tidak gadis itu sadari...

Bukankah balkon sudah termasuk diluar?

Reina kembali mendengus dan bersiap dengan berbagai kalimat pedas berisi fakta yang menurutnya harus diungkapkan kali ini juga.

"Lo itu cew-"

"Reina." Tegur Forgan yang sedari tadi diam memperhatikan, menghentikan Reina yang akan kembali buka suara. Gadis itu akan protes namun diurungkan karena melihat wajah ayahnya yang tidak mau dibantah.

"Alan!" Panggil Forgan menyebutkan nama salah seorang kepercayaannya yang langsung datang dengan cepat.

"Langsung kepanti." Perintah Forgan mutlak yang langsung diangguki oleh Alan, sebelum pergi ia menyuruh Alan untuk memakai motornya sendiri karena ia tidak ingin gadis itu diantar menggunakan kendaraan mereka.

"Barang-barang saya?" Tanya Mona dengan berani membuat empat orang yang masih duduk itu menoleh dengan tidak percaya dan lagi-lagi anak perempuan keluarga mereka yang buka suara.

"Wah! Berani nanya barang lo?! Bukannya lo kesini gak bawa apa-apa? Otomatis semua barang yang selama ini lo pake cuma fasilitas selama tinggal disini. Sekarang fasilitas itu dicabut. Dateng dengan tangan kosong, pulang juga dong. Untung gue gak nyuruh lo kembaliin semuanya bahkan baju dan sepatu yang lo pake sekarang!" Setelahnya Alan langsung menarik tangan Mona, mencegah gadis itu berbuat lebih kurang ajar.

.
.
.
.
.
.

Next-

HalayacrepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang