Aktivitas berjalan normal bagi mereka yang menemukan setidaknya sedikit saja kebahagiaan. Namun, bagaimana jika dari sekian banyaknya alasan untuk bahagia, seseorang tetap tidak bisa menemukan kebahagiaannya.
Bahkan sampai titik terendahnya ia mencoba mencari yang dinamakan bahagia dan lagi-lagi ia tidak tahu yang mana yang dapat ia anggap kebahagiaan.
Ia bertnya-tanya apakah itu ketika dirinya memaksakan untuk tersenyum saat melihat orang lain tersenyum?
Ketika orang disekitarnya bahagia lantas ia juga harus bahagia?
Atau ketika semua penderitaan yang dialaminya tidak kunjung usai sehingga rasa sakit itu pun ia respon dengan senyuman?Mana yang dapat dirinya anggap kebahagiaan.
Sejatinya mudah saja mendapatkan itu, namun sekali lagi bagaimana dengan orang-orang diluaran sana yang bahkan tidak tahu arti bahagia...
Halayacrep
Ruvha menatap kosong ruangan yang sudah ia tempati sejak lama. Nuansa coklat dan krem yang mendominasi dengan sedikit sentuhan warna kelabu. Sejujurnya ia membenci warna-warna itu. Namun, semua harapan yang ia bayangkan akan terjadi setidaknya didorong oleh kesan yang mamuakkan baginya itu hanya sebatas bayangan, tak tersentuh dan tak terlihat.
Hal-hal yang disukai kakaknya Ravan, lebih tepatnya saudara kembarnya.
Semua yang berhubungan dengan Ravan selalu disukai oleh kedua orang tuanya, bahkan sesuatu berbau seni seperti lukisan. Yang mana dirinya selalu ditentang habis-habisan jika melakukan hal itu, padahal Ruvha sangat menggemari lukis.
Ia tidak mengerti kenapa kehidupan Ravan bisa sempurna dan selalu mudah. Sementara dirinya, bisa bernapas dengan lahir sebagai bagian dari keluarga munafik ini saja harus mengorbankan berbagai impaiannya, kebebasannya dan hal-hal yang ia suka. Bertambah parah setelah Ravan meninggal.
Meski dapat ia akui meninggalnya Ravan menyisakan luka terdalam pada dirinya, namun sedikit rasa lega meliputinya. Jahat memang, namun itu kenyataannya.
Sejujurnya ia selalu tertekan dengan kehadiran Ravan dalam hidupnya meski Ravan adalah seorang kakak yang baik namun itu tidak cukup untuk membuatnya aman dari kedua orang tuanya. Tekanan yang tak masuk akal membuatnya hampir gila. Usia yang masih terbilang remaja tidak diberi kesempatan untuk berkembang seperti pada umumnya.
Segudang prestasi yang telah Ravan ciptakan tidak membuat kedua orang tuanya puas. Dirinya menjadi sasaran empuk untuk perbandingan bagi kakaknya tersebut, dan disaat Ravan pergi untuk selamanya dirinya tetap menjadi sasaran empuk bagi kedua orang tuanya. Perbedaannya bukan sebagai perbandingan melainkan sebagai sebuah kayu yang ingin diukir sesuai keinginan mereka, mulai dari sayatan hingga pukulan yang tak terhingga.
"Ravan kali ini kau membunuhku..." Dengan terpaan angin yang cukup kencang melewati dirinya tidak membuatnya goyah meski sesekali ia terlihat akan jatuh.
Dengan tatapan yang menyimpan sejuta luka, tanpa bergetar sedikitpun gadis itu berdiri diatas pagar balkon kamarnya. Yang awalnya ia melihat kosong kedepan kini beralih kebawah menatap kolam renang yang tenang. Ia tersenyum mengingat bahwa dirinya tak bisa berenang. Namun ia kembali murung ketika terlintas diingatannya kalau Ravan justru sangat suka berenang sampai-sampai kedua orang tuanya membuat dua kolam renang yang salah satunya sengaja dibuat dekat kamarnya.
Meski kamarnya terletak dilantai dua, namun rumah megah yang sangat tinggi ini membuat Ruvha yakin ia pasti akan mati dengan ketinggian ini, ditambah saat ia kehilangan napas didalam air nanti.
Sejenak semua ingatan yang selama ini mengganggu hidupnya terlintas seperti kaset rusak.
"Aku sudah berusaha menggantikan posisimu yang ternyata tidak boleh kosong. Tapi tetap saja, aku bukan kau. Kau tau mereka tidak menyukaiku, kenapa kau tidak membawaku bersamamu?" Setitik air mata jatuh menyentuh pipi mulusnya.
"Kenapa kau membiarkanku disini sendiri tanpa dukungan siapapun, bahkan temanmu juga menunjukku sebagai pembunuh." Air mata yang semakin deras mengalir namun raut wajahnya tetap datar dan hanya dengan tatapan kosong yang tak memiliki sedikitpun semangat hidup lagi.
"Ravan... kali ini izinkan aku untuk bahagia dengan caraku."
Dalam hitungan detik tubuh itu terjun bebas dan menghantam air menciptakan suara keras yang kentara. Dalam waktu singkat kepalanya yang jatuh lebih dulu membentur dasar kolam membuat air yang jernih itu terlihat berubah memerah.
Halayacrep
Rumah megah yang tampak sepi menyiratkan hal mengerikan yang tidak dapat seseorang itu mengerti. Tujuannya hanya satu, kamar gadis yang terletak dilantai dua kediaman ini. Langkah lebar dengan sedikit berlari tidak membuatnya cepat sampai pada satu pintu yang tertutup rapat.
Ia mencoba membukanya namun pintu itu terkunci dari dalam. Ketika ia mencoba untuk mengetuknya, terdengar suara benda yang jatuh dan beberapa saat kemudian hening. Terlalu hening.
"Ruvha?" Satu panggilan yang tidak mendapat sautan apapun dari dalam. Padahal ia yakin kalau gadis itu ada disana.
"Ruvha!" Sedikit kencang ia mencoba memastikan keberadaan gadis itu. Tapi tetap tidak ada sautan apapun. Kali ini ia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Sampai panggilan-panggilan berikutnya yang semakin kencang tak juga mendapat jawaban, membuatnya memutuskan untuk membuka pintu secara paksa.
Kosong. Tidak ada siapapun disana. Hanya kamar seorang gadis dengan segelas susu dimeja balkon.
Tunggu dulu...
Pintu balkon yang terbuka lebar, dengan angin kencang yang memaksa masuk membuat semua gorden berterbangan, selimut berjatuhan, serta pecahan kaca dari teko air yang berserakan. Ini terlalu kacau untuk dikatakan baik-baik saja.
Untuk menghilangkan rasa penasarannya, laki-laki itu berjalan menuju balkon dan memperhatikan sekitar. Sampai matanya menangkap sosok yang tidak bergerak dibawah sana. Kolam jernih yang sudah berubah sedikit memerah, dengan seorang gadis bergaun putih yang sudah tak berdaya.
Dengan cepat ia berlari kebawah, keluar dengan perasaan campur aduk dan kalang kabut, sembari tangannya dengan cepat menghubungi nomor darurat meski beberapa kali sempat salah tekan. Pikiran yang selama ini selalu ia tepis berulang kali kini menjadi kenyataan membuatnya panik bukan kepalang.
Seketika suara tubuhnya yang menghantam air terdengar dengan jelas, secepat mungkin ia meraih tubuh gadis yang mungkin masih bisa ia selamatkan. Setelah keluar dari air dengan cepat ia mencoba memberi pertolongan pertama berharap gadis itu kembali bernapas, meski sulit ditambah kepala yang terus mengeluarkan darah.
"Ruvha please... sekali aja... comeback to me please... please.." Ia tidak menyerah, terus melakukannya sampai suara kecil terdengar samar dipendengarannya. Ia mendekatkan telinganya pada jantung gadis itu dan ia tersenyum lega ketika mendengar kembali detaknya meski samar dan lemah.
Kemudian ia melepas kemeja luarnya yang telah basah dan menekan kepala gadis itu sembari memeluknya mencoba menghentikan darahnya agar tidak terus keluar. Sampai ambulance datang dan membawanya kerumah sakit terdekat.
Berjam-jam sudah ia duduk diluar ruangan yang berisi gadis dengan dokter yang menanganinya. Mengabaikan kaos putih yang ia kenakan penuh dengan bercak darah bahkan sudah mengering dengan sendirinya, terus berdoa dengan penuh harap agar Ruvha baik-baik saja. Beberapa waktu lalu ia menghubungi orang tua dan juga teman Ruvha yang ia pikir harus mengetahui kondisinya saat ini.
Terlihat dua orang berlari tergesa mendekati Zeris. Ya, orang yang dipenuhi bercak darah, yang menyelamatkan Ruvha, bahkan berharap untuk keselamatannya adalah Zeris.
Tapi bagaimana bisa?
.
.
.
.
.
.NEXT-

KAMU SEDANG MEMBACA
Halayacrep
Teen FictionJangan bertanya apa kesalahanmu. Karena aku yang salah... percaya bahwa kau akan memperbaiki segalanya ~Ruvha Wethaloria Gadis manis itu diam dengan tatapan terluka, mati-matian menahan air mata yang akan tumpah jika saja lelaki itu tak menatapnya...