TIGA PULUH TUJUH

895 56 4
                                    

Nana lagi sibuk mengerjakan tugasnya. Tidak ada yang aneh, semua pekerjaan yang dia lakukan itu sangat baik. Hanya saja, sedari tadi Bram memperhatikan wanita berhijab itu setelah Liana menyebut namanya. Dia penasaran, bagaimana bisa Liana menyukai wanita itu.

Ketika Nana datang dengan setumpuk file yang akan ia serahkan ke Bram. Lelaki itu pura-pura sibuk agar tidak terlalu kentara jika dirinya sedang memperhatikan sekretarisnya itu. Nana berjalan mendekati Bram.

"Pak, ini file yang bapak minta!" ujar Nana, memberikan file tersebut pada Bram.

"Terima kasih, kamu bisa kembali!" ujar Bram menerima file tersebut. "Oh iya, hari ini saya gak ada janji dengan siapa pun kan?"

Nana menoleh. "Tidak ada pak, sudah saya cek tadi."

"Oh baiklah kalau begitu."

"Saya permisi dulu pak!" Nana pergi meninggalkan ruangan Bram.

Siang itu kantor cukup kondusif. Meski begitu, banyak sekali yang harus Bram kerjakan. Termasuk mempersiapkan berkas yang nanti akan dia presentasikan pada investor. Bram mengecek ulang semua berkasnya tanpa tau ada keributan di luar ruang kerjanya.

"Pak Bram ada kan?" tanya seorang wanita berambut sebahu.

"Maaf dengan ibu siapa dan ada perlu apa?" tanya Nana sopan.

"Saya cuma tanya, ada Bram gak di dalem? Kenapa jadi kamu banyak tanya, mau dipecat kamu?!" bentaknya dan ingin memaksa masuk ke ruangan Bram.

"Maaf ibu, jika ibu tidak ada janji dengan pak Bram. Ibu tidak bisa masuk!" ucap Nana tegas.

"Wah nantang. Kamu gak tau siapa saya. Mau saya pecat kamu!"

Nana yang emang gak tau siapa wanita di depannya itu tak begitu memperdulikan ocehannya. Toh apa yang dia lakukan bukanlah kesalahan, mengingat Bram memang tak memiliki janji dengan siapa pun hari ini. Hingga teguran seseorang membuat keduanya menoleh.

"Mbak Nana gak akan pernah dipecat dari sini. Harusnya tante tau diri dong, siapa tante di sini!" ucapnya santai. Cowok yang ada di sebelahnya tersenyum kecil menatap wajah wanita yang kini sudah memerah itu karena malu.

Keributan kecil itu tak luput dari perhatian karyawan yang gak sengaja mendengar. Hingga mereka sedikit bergerombol dan berbisik satu sama lain.

"Hahaha kalo gue udah malu digituin sama anak pak bos. Lagian bu Weni itu siapa sih suka ngatur-ngatur mulu!"

"Nana itu keterima atas rekomendasi nona Liana kan ya."

"Nona Liana sekalinya muncul ngeri banget."

"Anak bos mah bebas. Lagian setau gue dia pemegang saham terbesar kedua setelah bos kita."

"Wah gila sih, dia masih kecil udah jadi sultan. Eh ngomong-ngomong bukannya bu Weni itu calonnya pak Bram ya?"

"Lo gak denger ya, mereka gak jadi nikah. Kan nona Liana gak setuju!"

"Ngeri!"

Lia menghela napas pelan sebelum menoleh ke beberapa orang yang sedang bergerombol itu lalu tersenyum ke arah mereka. Gak ada yang salah sih, cuma ngeri aja disenyumin gitu secara tiba-tiba. Alhasil para karyawan itu hanya bisa membalas senyuman Liana lalu membubarkan diri.

"Papa ada di dalam mbak?" tanya Liana ke arah Nana. Nana tersenyum hangat ke arah Lia.

"Ada non, di dalam!"

"Mbak Nana jangan panggil Liana kaya gitu." ujar Liana. "Yuk masuk Jan." ajak Liana pada Janu yang setia di samping Liana.

Liana melangkah masuk melewati Weni bersama Janu. Mereka sempat melirik ke arah Weni yang menahan emosi sedari tadi. "Mau masuk tan? Tapi jaga sikap ya. Tante bukan siapa-siapa!" ujar Liana sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan papanya.

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang