TIGA PULUH ENAM

669 70 5
                                    

Liana sudah tinggal dengan Bram sekarang, hanya saja seminggu sekali dia memilih kembali ke rumah lama dia. Mengecek rumahnya karena masih ada beberapa barang dia dan barang peninggalan bundanya. Setelah itu baru dia memutuskan menginap di rumah Juna, karena gak mungkin juga dia tidur sendirian di rumah. Walaupun gak masalah juga bagi dia.

Selama tinggal di rumah Bram itu artinya ada yang menabuh bendera perang dengannya. Siapa lagi kalau bukan Weni yang udah kesenangan bundanya meninggal. Lalu ada neneknya yang senantiasa mendukung wanita itu. Namun Liana tak pernah menerimanya. Bahkan Bram sendiri sudah mengabaikannya, hanya saja wajahnya sudah terlalu tebal untuk sebuah kata malu.

"Morning papa!" sapa Lia pada Bram.

"Morning baby!"

Hari itu ada Weni datang, pagi-pagi sekali. Entah untuk apa. Liana tak menyukai itu. Bahkan wanita itu melirik ke arah Liana tak suka saat Liana memilih untuk gak menyapanya, seakan wanita itu gak ada.

"Masih ada kesibukan di sekolah?"

"No. Tapi emang masih ke sekolah. Sebentar lagi udah mau pisah sama temen-temen juga."

"Sudah terima tawaran papa?"

"Hm... Lia belum tau, tapi Lia pasti pikirin itu baik-baik!" sahutnya. Bram mengangguk paham.

"Emang Lia mau lanjut kemana?" tanya Weni basa-basi. Namun Lia enggan menjawab. Weni mendengus kesal setelahnya.

Baru sesuap Lia memakan makanannya, namun dia meletakkan lagi sendoknya. Ia menatap papanya yang kini menatap ke arahnya. Lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Kemana Lia?" tanya Bram.

"Ayo berangkat pa!" ajak Lia.

Bram bingung, namun ia menuruti saja. Weni yang melihat itu mengernyit bingung. Pasalnya mereka berdua belum selesai makan, tapi sudah ingin meninggalkan rumah saja.

"Loh makanan kalian kan belum habis?"

Langkah Lia terhenti. Gadis itu menoleh ke arah Weni. Menatap wanita itu, seakan tak ada lagi yang perlu ia takutkan. "Tante kalo gak bisa masak, jangan masak deh. Gak enak!"

Wajah Weni mengeras saat dia mendengar perkataan Lia barusan. Wanita itu sudah mengepalkan tangannya sekarang. Lia tersenyum miring melihat ekspresi itu. Gadis itu maju beberapa langkah, agar lebih dekat dengan Weni.

"Lagi pula, kita gak tau apa yang tante masukin di situ. Kalo sampek Lia ada racun gimana?" Liana menjeda kata-katanya. "Inget tante, Lia belum mati. Bahkan sampe Lia mati pun, tante gak akan bisa nikah sama papa!"

Liana menatap ke arah Bram sekarang. Seakan memperingati lelaki itu. Tapi tanpa Liana ancam pun, Bram memang tidak ada niatan lagi untuk menikahi Weni. Pasalnya dia sudah cukup kecewa pada wanita itu, karena dia memilih untuk tutup mata terhadap Giana yang notabenenya adalah sahabatnya.

"Kamu!"

"Weni!" bentak Bram. Saat wanita itu hendak ingin menyerang Liana. Weni menatap ke arah Bram nyalang, sedangkan Liana sudah melenggang meninggalkan Weni yang saat ini terlihat sedang menahan emosinya.

Bram dan Liana pun meninggalkan rumah. Sebelum itu Liana menyuruh ART di rumah itu untuk membuang makanan itu di depan Weni. Namun tak lupa Liana membisikkan sesuatu.

"Bibi bungkus aja, kasih ke orang gak mampu. Dia gak masak sendiri kok bi, abis beli dari restoran!"

"Non Lia tahu?"

"Sssstt... Udah bibi lakuin aja apa yang aku suruh!" ucap Liana sebelum pergi dari rumah bersama Bram.

Sebelumnya Liana tau ketika Weni datang pagi-pagi sekali. Wanita itu terlihat sibuk di dapur, seakan sibuk memasak. Nyatanya gak sama sekali. Liana melihat sendiri kalo Weni membawa makanan dari luar, dan menyuruh pembantunya diam. Maka dari itu Liana sengaja membuat Weni kesal pagi ini.

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang