Tak terasa waktu berjalan begitu cepat mereka bahkan sudah duduk di bangku kelas dua belas semester genap. Liana dan Karina semakin menjauh saja setelah fakta tentang Karina terkuak begitu saja. Bukan karena ingin, Karina menghindari Liana karena malu.
Malu karena Liana harus tau kondisi terlemahnya itu. Karina gak suka dipandang menyedihkan. Selain itu dia juga sangat merasa bersalah pada Liana yang sejak awal gak tau apa-apa. Merasa bersalah karena menjadikannya saingannya, merasa bersalah karena gak mau jujur sebagai sahabatnya. Pokoknya semua perasaan itu terus campur aduk di dalam lubuk hati Karina.
Kalian ingat gak saat Liana bilang mereka bisa membicarakan masalah ini baik-baik? Iya, pada akhirnya mereka membicarakan hal itu secara terbuka. Tepat di saat penerimaan rapor semester ganjil, dimana ayah Karina kembali menegur Karina perihal nilainya.
"Apa ini? Kenapa nilai kamu ada yang standard begini?"
Iya bukan lagi soal peringkat, ini masalah nilai satu pelajaran yang selama ini belum juga berhasil Karina taklukan. Ingat kan Karina ini pintar, dia akhirnya bisa mempertahankan juara dua di kelasnya. Gak seperti dulu yang masih naik turun.
"Yah, Karin udah berusaha semaksimal mungkin!"
"Bukannya kamu minta les tambahan buat pelajaran ini? Kenapa nilainya tetap sama aja. Percuma dong kalo gitu, kamu cuma bisa buang-buang duit ayah!"
"Ayah!!"
Karina bener-bener jengah dengernya. Untung aja kondisi sekolah gak seramai biasanya. Sebagian orang tua dan murid udah pulang ke rumah, sisa beberapa yang kini memperhatikan pertikaian kecil ayah dan anak itu.
"Lia..."
"Jangan sebut nama itu, berapa kali Karina bilang. Rina beda sama Lia pa!!"
Karina pergi dari hadapan sang ayah. Sudah gak tahan lagi dia. Selain malu di lihat banyak orang, dia lelah harus mendengar kata-kata ayahnya yang menyakitkan.
"Karin, mau kemana kamu?"
"Karin!!"
"Om!" panggilan kecil itu berhasil menghentikan langkah ayah Karina yang hendak mengejar anaknya.
"Lia!"
"Bisa bicara sebentar?"
Di sini Liana sekarang, duduk di sebuah rumah makan bersama ayah Karina. Tadi dia sudah menyuruh Bram ayahnya yang mewakili mengambil rapornya untuk pergi terlebih dahulu menemui Giana yang pasti sudah menunggunya.
Iya, Bram akhirnya bisa berkumpul dengan Liana dan Giana mantan istrinya. Bukan untuk tinggal bersama, Bram masih belum menikahi Giana lagi. Tapi dia sudah berhasil kembali ke tengah-tengah dua wanita yang sangat ia cintai.
Kembali ke Liana dan ayah Karina. Keduanya hanya berdiam diri saja hingga Liana mulai bicara. "Om tau gak Karin itu hebat banget!"
"Dia pernah ngalahin Lia di salah satu mata pelajaran yang gak bisa Lia taklukan. Dia dapat nilai seratus sedangkan Lia harus puas di nilai delapan puluh!" jelas Liana. Ayah Karina hanya diam mendengarkan saja.
"Karin juga pernah gantiin Lia ikut olimpiade saat Lia gak bisa ikut dan dia berhasil jadi juara!" lanjutnya.
"Semua punya kemampuannya masing-masing, termasuk Lia. Lia juga punya mata pelajaran yang gak Lia bisa. Tapi Karin bisa, begitu sebaliknya."
"Om gak bermaksud membuat Rina tertekan. Om hanya ingin melatih dia agar bisa bersaing dengan banyak orang, bukan pasrah sama keadaan!"
"Lia paham. Tapi mungkin caranya aja yang salah, Karin gak bisa menangkap maksud dari om Suherman!" Liana menatap lelaki paruh baya itu, lelaki yang lebih tua beberapa tahun dari ayahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SACRIFICE [END]
Teen FictionFt. LIA x JENO Tak ada yang spesial di kehidupan Lilyana Chaliana Jelita, seorang siswi SMA yang menyandang predikat teladan. Pintar dan selalu jadi juara pertama, seperti itulah Lia di mata teman-temannya. Tak begitu menarik karena sudah tak heran...