DUA PULUH ENAM

470 79 31
                                    

Janu yang sebenarnya enggan menemani papanya datang ke acara koleganya itu, pada akhirnya tersenyum senang setelah tau mereka pergi kemana. Dia buru-buru mengambil ponselnya yang ada di saku jasnya. Iya dia pake jas rapih gitu, di suruh sama papanya.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tegur papanya. Janu hanya menoleh dan malah menampakan senyuman anehnya pada sang papa.

Jelas papanya tambah heran liatnya, soalnya ini anak tadi udah nolak mati-matian buat ikut papanya. Eh sekarang malah senyam-senyum ke arah papanya, persis orang gila.

"Dih ni anak, di tanya itu jawab. Bukan malah senyam-senyum kaya orang gila!" cibir papanya.

"Papa kalo ngomong sembarangan, anak mu yang ganteng ini di bilang orang gila!"

"Lah itu apa namanya kalo gak kaya orang gila. Senyam-senyum sendiri, tadi aja cemberut."

"Apa sih pa, Janu cemberut salah, Janu senyum juga salah. Ribet ah papa!" ujar anak itu lalu melepaskan seatbelt-nya.

"Heh mau kemana kamu?"

"Dah papa, nanti ketemu aja di dalem. Janu duluan!"

Doni hanya bisa mengelus dada, kelakuan anak jaman sekarang makin aneh aja. Tadi mati-matian nolak, sekarang kegirangan banget kayak dapet hadiah banyak. Lelaki yang kini sudah menginjak usia empat puluh tahunan itu hanya bisa sabar aja.

Di dalam rumah, sudah banyak sekali tamu yang berdatangan. Semuanya sama, mereka menggunakan pakaian formal. Janu mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan seseorang yang sedari tadi sudah dihubunginya. Hingga netranya menangkap sosok yang sedari tadi dia cari.

Orang itu berjalan menuruni tangga mengikuti langkah ayahnya dan seorang wanita di sampingnya. Dia menunduk, bahkan tatapannya mendingin, tidak seperti biasanya. Janu tau dia tidak dalam baik-baik saja.

"Mau kemana kamu?" tanya Doni ketika Janu melangkah maju mendekati dimana sang tuan rumah berada. "Di sini dulu Jan!"

Janu pada akhirnya menuruti perkataan sang ayah. Pemuda itu menunggu waktu yang tepat untuk menemui orang yang sedari tadi ia tunggu kemunculannya. Benar kata ayahnya, koleganya itu akan segera memberitahu maksud dan tujuan dia membuat acara seperti ini di rumahnya.

"Selamat malam semua!" sapanya dengan senyum di wajah tampannya yang mungkin usianya berada di akhir usia tiga puluh tahun. Lebih muda beberapa tahun dari ayah Janu.

"Saya Liam Jaya Bramantyo ingin memperkenalkan anak semata wayang saya Liana yang selama ini belum bisa saya perkenalkan pada kalian semua!"

Semua orang mulai melirik gadis yang kini hanya terdiam di samping Bram si tuan rumah. Gadis itu hanya tersenyum canggung ke arah mereka semua. Ini adalah kali pertama Liana putri satu-satunya keluarga Liam berada di acara tersebut.

Sosok yang selama ini dipertanyakan keberadaannya oleh banyak orang, dan kini mereka semua dapat melihatnya. Sosok gadis manis yang cantik jelita. Sangat cantik dan elegant. Begitulah Liana di mata banyak orang, persis keturunan keluarga bangsawan.

"Dia yang akan melanjutkan bisnis ku kelak!" Liana terkejut bukan main, saat sang ayah dengan terang-terangan mengumumkan hal itu di depan banyak orang.

Di kejauhan kakek dan neneknya sudah ingin protes pada Bram anaknya, tapi tentu saja tak digubris oleh sang ayah. Mengingat semua keputusan tetap berada di tangan Bram pada akhirnya.

"Sekaligus mengumumkan pertunangan saya dengan Wenina Saronika Suhartanto!"

"Pa!" Liana mulai bersuara.

Gadis yang sedari tadi diam itu kini mulai angkat bicara. "Lia gak akan pernah setuju papa nikah sama tante Weni!"

"Lia jaga ucapan kamu!" itu bukan ayahnya yang bicara tapi keluarga dari ayahnya.

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang