TIGA PULUH LIMA

628 56 1
                                    

Kembali ke perkara Javi dan cinta lamanya yang belum kelar dengan Winda, lalu Mia sebagai pacar dia. Javi tak bisa melepaskan Mia begitu saja, jujur dia sayang dengan gadis itu. Namun bayang-bayang Winda selalu ada di kepalanya. Hal itu lah yang selama ini membuatnya kucing-kucingan dengan Mia.

Rasa bersalah pada Winda karena menyalahkan gadis itu dulu, rasa sayang yang masih ada dalam lubuk hatinya untuk gadis itu, dan rasa iba padanya, membuat Javi kalut dan tak bisa melepaskan Winda begitu saja. Ia masih khawatir dengan gadis itu mengingat bagaimana Giana bunda Liana juga pergi karena sebuah kanker di tubuhnya. Dia tak ingin menjadi seperti Bram yang akhirnya menyesal kemudian.

"Sudah makan?" tanya Javi setelah sampai di tempat Winda yang saat itu sedang berada di taman belakang rumahnya.

Seperti biasa, Winda menghabiskan waktunya hanya di rumah saja. Gadis itu mengangguk pelan. "Iya, kan gak boleh telat biar cepet sembuh!" sahutnya, sambil mengelus kucing yang lagi duduk di pangkuannya.

"Syukur deh!" Javi merapikan anak rambut Winda yang justru membuat gadis itu salah tingkah.

"Setelah ini kamu bakal nerusin dimana?" tanya Winda basa-basi, mencoba mengalihkan rasa gugupnya.

"Belum tau, belum kepikiran juga!"

Winda terdiam sejenak sebelum menoleh dan menatap pemuda di sampingnya itu. "Kamu memangnya gak ada yang cari?"

"Maksudnya?"

"Cewek waktu itu pacar kamu kan? Je, kalo kamu sering ke sini kasihan dia!" Javi terdiam. Dia tak ingin menjawab. "Sudah ijin kan?"

"Iya." sahut Javi.

Iya, Javi memang sudah meminta ijin.  Hanya saja bukan untuk pergi ke tempat Winda sebagai mantan pacar pertamanya. Seperti biasa, Javi akan mencari alasan lain agar Mia percaya. Sebelumnya dia pasti mengantar Mia atau mengajak gadis itu makan dulu sebelum di antar pulang tentunya.

"Kakak abis ini kemana?" tanya Mia setelah keluar dari rumah makan yang biasa ia datangi bersama Javi.

"Ah... Ehm... Ke basecamp terus mau ke tempat sepupu bentar!"

"Oh, sekarang kakak sering ya ke rumah sepupu kakak itu?" Javi terdiam. Dia hanya mengulas senyum aja ke arah Mia.

"Iya, udah lama soalnya gak ke sini. Masih kangen. Yuk aku antar pulang. Udah gak ada yang perlu di beli kan?" Mia menggeleng pelan.

"Udah gak ada!"

"Ya udah ayo!"

"Kak!" Mia menahan tangan Javi, seperti ada yang ingin gadis itu katakan namun tak kunjung tersampaikan.

"Kenapa?"

"Gak, gak apa-apa. Ya udah ayo!" ujarnya kemudian. Gadis itu hanya mengulas senyum kecil dan menghela napas pelan. Tidak apa-apa baginya untuk tidak curiga. Iya, pasti dia salah orang saja. Begitu pikirnya.

Keduanya pun akhirnya pergi meninggalkan rumah makan favorit mereka itu dengan hati Mia yang mulai gundah dan Javi yang tidak tahu menahu soal sifat Mia yang aneh. Dia hanya berfikir mungkin Mia sudah merasa tingkahnya aneh tanpa tau gadis itu pernah melihatnya dengan seseorang di suatu tempat. Orang yang sama yang saat itu pernah Mia lihat.

"Besok nonton ya!" kata Javi setelah menurunkan Mia di depan rumahnya.

"Kakak gak sibuk?" Javi menggeleng.

"Gak. Lagian aku kangen jalan sama kamu!" sahutnya.

Mia tersenyum mendengarnya. Entah hatinya yang sempat risau itu menghangat seketika. "Iya."

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang