SEPULUH

797 132 36
                                    

Janu menatap ponselnya, pemuda itu belum juga ingin menutup matanya. Entah kenapa, ia sedang memikirkan apa yang tak seharusnya ia pikirkan. Pemuda itu menghela napas gusar. Kejadian lalu terus berputar-putar di kepalanya.



Sialan, gue kenapa sih?




Janu beranjak dari tempat tidurnya. Pemuda itu berjalan menuruni tangga menuju arah dapur. Di sana Janu melihat sang mama yang juga belum tidur, Janu menghampiri beliau.

"Ma!" panggil Janu pelan.

Yumna yang merasa terpanggil menoleh. "Loh Janu, kamu kenapa belum tidur?"

"Belum bisa!" sahut Janu. Tangannya sibuk menuangkan air minum ke dalam gelas.

"Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" tebak Yumna saat melihat raut wajah anaknya.

Janu menggeleng pelan, namun helaan napas beratnya sudah menjawab pertanyaan Yumna. Ya—dia sedang dilema oleh perasaannya sendiri.

Yumna tersenyum lembut. Dia menyuruh Janu agar duduk di sampingnya. Janu menuruti permintaan mamanya. Wanita paruh baya itu mengelus puncak kepala Janu pelan.

"Anak mama udah besar ya ternyata!" ujar Yumna. Janu tersenyum mendengarnya.

"Kamu masih pacaran sama mereka?" tanya Yumna yang berhasil membuat alis Janu bertautan.

"Hah? Mama tau?" Yumna hanya mengangguk menjawabnya.

"Eriko cerita ke mama!"

Janu memutar matanya malas, sudah ia duga. Pemuda itu terdiam sebentar.
"Tapi udah gak kok ma."

"Kamu sudah pilih siapa yang kamu pertahankan?" Janu mengangguk pelan.

"Iya!" sahutnya.

"Karina?" Janu kembali mengangguk membenarkan.

"Udah minta maaf ke Liana?" Janu terdiam. Yumna yang paham hanya mengelus pundak anaknya.

"Liana anak yang baik, mama suka dengan anak itu. Dia ceria. Tapi saat mama tau apa yang kamu lakukan ke dia, mama malu dan kecewa."

Janu memainkan gelas yang ada di tangannya. "Mama sama papa gak ada ngajarin kamu kaya gitu. Hebatnya Liana masih bisa menahannya selama itu. Gadis baik itu—mama pikir bakal bisa ngobrol lagi sama dia. Tapi gak apa-apa kalo kamu udah memutuskan pilihan mu, mama lega!"

Yumna menasehati anaknya. "Mama tau, kamu sekarang merasa kehilangan. Tapi itu lebih baik, dari pada kamu harus nyakitin dia lebih jauh lagi. Besok kamu harus temuin dia. Minta maaf sama Liana!"

Setelah mengatakan itu Yumna meninggalkan Janu yang masih terdiam di tempatnya. Pemuda itu masih memikirkan apa yang mamanya ucapkan. Sebelum akhirnya dia beranjak dan kembali ke kamar.







____

Janu dan teman-temannya duduk di kantin. Mereka duduk di bangku kantin paling ujung. Kali ini, mereka gak bergabung dengan kelompok anak perempuan. Janu terdiam menatap punggung seseorang, dari kejauhan ia memperhatikan dia bercanda dengan Karina kekasihnya.

"Masih aja diliatin!" celetuk Hendra.

"Kalo kangen tuh bilang!" ledeknya. Javi dan Rendra yang mendengarnya ketawa.

"Tapi Jan, gue gak pernah liat lo anter jemput Liana lagi. Kenapa? Kalian bertengkar?" tanya Rendra, jarang-jarang dia kepo sama urusan orang.

Janu tak menjawab. Iya—teman-temannya belum ada yang tau kalo Janu udah mutusin Liana tepat di hari ulang tahunnya. Gak ada yang tau termasuk Karina. Baik Janu dan Liana, keduanya berjalan seperti biasanya.

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang