TIGA PULUH TIGA

511 63 8
                                    

Suasana terasa kacau, Liana terpaksa pulang saat ia mendengar bahwa kondisi bunda Giana memburuk sekarang. Anak itu bahkan tak perduli jika hari ini ada ujian akhir sekolah. Janu berniat mengantar, namun Liana melarang. Gadis itu bilang sopir ayahnya akan menjemput sebentar lagi.

Pelajaran belum di mulai, bahkan Liana belum sempat masuk kelasnya saat kabar itu sampai padanya. Bram awalnya tak ingin mengabari Liana karena tau anak itu sedang ada ujian, tapi dia tak tega jika harus melihat Liana menyesal karena tidak bertemu ibunya, mengingat bagaiman kondisi Giana sekarang. Alhasil Bram tetap mengabari Liana dan menyuruh sopirnya kembali menjemput putrinya.

Liana terus menggigit jarinya, dia takut sekali sekarang. Gadis itu berusaha tenang, tapi nihil usahanya sia-sia. Gadis itu terus merapalkan doa yang hampir terdengar seperti mantra, tidak jelas dan begitu cepat. Ia bergumam dengan mata yang terus bergerak tak beraturan. Tubuhnya gelisah, bahkan panggilan Janu yang sedari tadi setia menemaninya menunggu jemputan pun tak kunjung dapat sahutan.

"Lia..."

"Li..."

Semakin Janu memanggil namanya Liana semakin cepat merapalkan doa. Samar Janu bisa mendengar sesekali dia menyebut 'Bunda' dalam gumamannya. Janu menghela napas pelan, pemuda itu menarik tangan Liana dan menatapnya dalam.

"Liana!"

Liana tersentak, ia menatap wajah Janu yang tampak khawatir sekarang. Detik berikutnya Liana memeluk Janu dengan suara isakan yang begitu menyayat hati Janu. Dia tak tega melihat Liana seperti sekarang.

"Bunda, Jan. Bunda bakal baik-baik aja kan?" tanya gadis itu yang membuat Janu bungkam.

Tentu Janu tidak bisa mengatakan iya atau pun tidak, dia tidak akan pernah tau takdir yang sudah diberikan oleh sang pencipta pada makhluk ciptaannya. Pemuda itu hanya bisa memeluk Liana erat, mencoba menenangkan gadis itu sekarang. Mengelus punggungnya berharap kekhawatirannya berkurang meski hanya sebentar.

"Kamu yang sabar ya, doain bunda semoga baik-baik aja!" cicitnya pelan.

Tak lama jemputan Liana datang. Gadis itu buru-buru pergi meninggalkan sekolah dengan diiringi tatapan iba sahabat-sahabatnya yang tak bisa ikut dengannya sekarang. Mereka tetap harus melanjutkan perjuangan untuk meraih kesuksesan di masa depan.

Butuh waktu hampir setengah jam untuk sampai ke rumah sakit dimana Giana di rawat. Liana buru-buru turun dari mobil dan berlari ke dalam. Gadis itu bahkan tak perlu bertanya lagi dimana sang bunda berada karena ia yakin beliau ada di tempat yang sama.

Setelah berjalan cepat dari depan gedung ke ruangan dimana bundanya berada, Liana dapat melihat ayahnya di ujung lorong sana. Bram terlihat gelisah di depan sebuah ruangan yang tentu saja ada sang bunda di dalam. Liana berlari menghampiri Bram.

"Pa.. Papa!" panggilnya dengan suara parau.

Bram segera menoleh dan menghampiri Liana, memeluk anak gadisnya dengan erat. Berusaha menenangkannya. Dia menahan tubuh Liana yang memaksa masuk ke dalam ruangan.

"Bunda..."

"Bunda Liana datang, bun!"

"Bunda... Bun, Lia dateng!" ucap gadis itu pilu, membuat hati Bram sakit setelah mendengarnya.

"Bunda janji bakal main sama Lia kan, kita ke puncak abisin waktu bareng-bareng. Sekarang ada papa juga, bun. Ayo... Ayo ke puncak kita liburan!"

Tangis Liana pecah, Bram makin erat memeluk Liana. Mencium puncak kepala anaknya itu berulang kali. Mencoba menguatkan gadis itu atas segala sesuatu yang akan terjadi nanti. Hingga Cahyo, dokter yang menangani Giana keluar.

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang