TUJUH BELAS

726 118 31
                                    

"Karin pulang!" teriak Karina ketika sampai di rumahnya.

Gadis itu menuju ke arah dapur, dia haus. Tangannya sibuk menuangkan air ke dalam kelas, ketika tiba-tiba ayahnya datang dengan sebuah kertas evaluasi pembelajarannya. Karina menghela napas pelan, lagi nyiapin mental dia.

"Karin, apa ini? Kenapa nilai kamu malah gak karuan akhir-akhir ini?!" omel ayahnya.

"Kamu udah papa ijinin buat ambil les tambahan, sampai les privat juga, masa begini hasilnya? Buang-buang duit aja!" lanjutnya.

Karina diam aja, sudah biasa dia kena omelan kaya gini setiap nilainya turun. Padahal gak seberapa, tapi ayahnya membesar-besarkannya. Beliau strict orangnya, jadi gak heran lagi Karina. Gadis itu menatap kosong ke arah lantai rumahnya.

"Pa, nilai Karin itu baru turun sekarang. Udah jangan di omelin mulu anaknya!" ibu Karina keluar dari kamarnya setelah mendengar keributan di luar. Gak tega dia melihat putrinya yang baru pulang itu sudah kena omelan aja.

"Kalo kebiasaan, makin keterusan dia. Lagian pake segala pacaran. Kalau gini mana bisa kamu ngalahin Liana? Liat dia, tanpa les aja bisa kok jadi juara. Kenapa kamu gak bisa?!"

Karina meremas rok seragam sekolahnya. Lagi—nama Liana kembali menjadi pembandingnya lagi. Karina muak jadinya. Kenapa coba dia harus selalu dibandingin sama Liana, padahal kan masih banyak anak pintar lain di luar sana.

"AKU SAMA LIANA BEDA, PA. HARUSNYA PAPA SADAR ITU!" teriak Karina pada akhirnya. Kesal sendiri dia.

Gadis itu sudah tak tahan lagi. Setiap tahun, setiap kenaikan kelas dia selalu menjadi nomor dua setelah Liana. Sejak saat itu ayahnya sering membandingkan dirinya dengan Liana.

Ini gak sekali dua kali, Karina masih bisa nerima. Sampai pada akhirnya Karina sedikit terganggu dengan omongan pedas ayahnya. Liana ini lah, Liana itu lah, Karina benar-benar muak dengernya.

Awalnya dia masih biasa saja, toh dia dan Liana memang temanan sejak lama. Lebih tepatnya sejak mereka duduk di bangku SMP. Tapi pada akhirnya Karina mulai menganggap Liana saingannya. Dia capek selalu diomeli ayahnya, terlebih dibandingkan dengan orang lain.

Sebenarnya ayah Karina melakukan itu agar Karina termotivasi untuk belajar. Tapi pada akhirnya Karina menganggap itu sebagai ejekan karena dia gak bisa sekali pun lewatin Liana. Makanya sekarang Karina mati-matian belajar.

Karina bukan anak yang bodoh, dia pintar. Buktinya dia selalu bisa masuk sepuluh besar, tapi tidak seperti Liana yang gak pernah bosen nangkring di posisi pertama, sedangkan Karina harus puas dengan posisi tertingginya di urutan kedua setelah Liana.

Pada dasarnya Liana sama Karina beda. Liana ini jenius, dia emang rajin belajar tapi dia memiliki kemampuan untuk memahami pelajaran lebih cepat dari anak biasanya. Kalo kata orang, otak kanan dan kirinya berjalan seimbang. Jadi gampang memahami sesuatu, bakat dia juga gak cuma satu.

Berbeda dengan Karina, dia bisa masuk sepuluh besar karena dia mati-matian belajar. Ikut les juga supaya dia bisa lebih cepat memahami. Makanya makin ke sini, dia makin sibuk belajar.

Kali ini ayahnya benar, dia kehilangan konsentrasi belajarnya karena masalah hubungannya dengan Janu yang semakin hari makin membesar. Penyebabnya siapa lagi kalo bukan Liana, padahal gadis itu gak tau apa-apa.

Karina gak mau nyalahin sahabatnya itu. Dia tau di sini dia yang salah dari awal, tapi jujur sebenarnya perasaan Karina sama Janu itu beneran rasa sayang. Bukan karena ingin saingan.

Awalnya sih emang gitu, dia ingin memiliki semua yang dimiliki oleh Liana. Perhatian banyak orang, dan juga pujian yang selalu gadis itu dapatkan. Dia pada akhirnya ingin Janu lebih melihat ke arahnya bukan lagi Liana sahabatnya.

Ketika Karina tau Liana suka sama Janu awalnya dia ingin membantu gadis itu. Tapi pada akhirnya dia juga yang merebut pemuda itu. Iya—karena terlalu sering bersama Janu, dia juga suka sama cowok itu.

Liana adalah orang pertama yang berhasil merebut hati Janu Laksa Rajendra. Bodohnya, Janu gak bisa bedain mana Liana dan Karina dulu saat mereka masih menjadi murid baru. Itu terjadi karena seringnya Liana tukeran barang sama Karina.

Karina yang memang tau Janu awalnya suka sama Liana, pada akhirnya memantapkan diri untuk berada di dekat pemuda itu. Contohnya masuk ke ekstrakulikuler cheerleaders saat tau Janu masuk tim basket. Iya—biar dia terus bisa deket sama Janu.

Karina bener-bener menyesal, tapi dia juga gak mau kehilangan Janu pada akhirnya. Makanya dia ngusulin agar Liana juga jadi pacar dari kekasihnya itu, namun pada dasarnya siapa sih yang mau pacarnya lebih perhatian ke cewek lain—gak ada—termasuk Karina. Dia gak suka, tapi dia gak bisa benci Liana.

Perasaan Karina pada Liana tetap sama, dia masih menganggap Loana sahabatnya. Hanya saja karena dorongan dari ayahnya dan juga Janu yang akhir-akhir ini sepertinya terus memikirkan Liana, membuat Karina jadi kesal sendiri sama sahabatnya itu.

Lalu bagaimana perasaannya sama Janu sekarang? Iya Karina emang sayang, tapi hanya sebatas itu. Pada dasar Karina sadar sesuatu yang dipaksakan gak akan bertahan lama, seperti hubungannya sekarang sama Janu.

"Gue benci elo, Li. Kenapa sih harus elo yang bisa dapetin apa yang gue mau? Kenapa elo, sahabat gue sendiri!"

Karina meringkuk memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar, suara isak tangisnya itu mulai terdengar. Begitu kondisi Karina setiap kali dimarahi ayahnya atau setiap kali bertengkar dengan Janu. Dia menangis sendirian, meringkuk di dalam kamar tanpa ada satu orang pun yang tau bagaimana perasaannya selama ini.

______

Di sini Liana sekarang, di cafe di dekat sekolahnya bersama pemuda yang beberapa waktu lalu menjadi kekasihnya. Iya—dia Janu. Sesuai permintaan, Hana berhasil mempertemukan Janu dan Liana.

"Ada apa?" tanya Liana pelan.

"Gak apa-apa!" Janu kembali terdiam.

"Lia, kalo gue mutusin Karina gimana ya?" gumam Janu pada akhirnya.

"Jangan becanda kamu, semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya!" Liana gak abis pikir dengan jalan pikiran Janu sekarang.

"Gue gak tau Lia, sekarang beda."

"Dulu saat dia gak mau jadi pacar kamu, di situ kamu berjuang mati-matian agar dia nerima kamu jadi pacarnya. Sekarang kamu mau ninggalin sahabat saya begitu aja!"

"Bukan gitu!"

"Terus apa?!" Liana meninggikan suaranya. Dia gak bisa ngebayangin gimana sakit hatinya Karina nantinya. Dia gak mau sahabatnya itu mengalami hal yang sama seperti apa yang dialaminya.

"Terus gue harus bertahan gitu sama orang yang gak tulus sama gue?" Liana terdiam. Dia gak paham sama maksud Janu barusan.

Janu terdiam, dia gak mungkin ceritakan semuanya pada Liana. Dia gak ada hak untuk itu. Janu juga sadar kalo selama ini juga dia yang bodoh karena gak bisa melihat ke arah Liana.

"Aku cuma mau minta maaf sama kamu!" Janu menatap mata Liana dalam.

Janu menggenggam tangan Liana, gadis itu hanya menatap ke arah tangannya. Di sana Janu masih memakai gelang pemberiannya. Janu juga saat itu sadar, Liana sedang memakai gelang yang dia berikan.

"Kenapa minta maaf?" tanya Liana, dia gak berani menatap balik pemuda itu.

"Maaf karena udah nyakitin kamu, maaf karena gak bisa ngenalin kamu, maaf karena aku gak bisa nepatin janji ku, maaf karena aku cinta sama kamu!"

Detik berikutnya tubuh Liana kaku. Pandangannya bertabrakan dengan manik mata hitam milik Janu. Mata indah yang selalu Liana rindu. Liana tau, tak ada kebohongan pada pemuda itu.

______________________________________

Hai guys!
Yuk napas dulu yuk. Tarik napas, buang perlahan. Jangan tegang! Dah kan, paham sekarang kan kenapa? Intinya guys, semua ada alasannya. Jangan benci salah satu dari mereka ya, doain aja biar balik kaya dulu lagi. Okay, jangan lupa tinggalkan komentar.

Selamat membaca, jangan lupa tekan bintang ya!

SACRIFICE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang