hari ini;

1.5K 236 70
                                    

Hidup memang tidak bisa di tebak, setiap manusia punya takaran kehidupannya masing-masing.

Seperti Mega kelabu pada saat ini, siapa yang bisa memprediksi jika akan turun hujan setelah terik yang begitu panas.

Netra Galaksi sedari tadi tidak berpindah dari jendela yang menjadi akses bahwa diluar sedang terjadi hujan.

Ia terus menggenggam jemari lemah itu, seakan menyalurkan kehangatan dan berkata bahwa ada yang sedang menantikan mata yang telah lama terpejam.

Kata sesal menjadi tarian utama yang mengalun di isi kepalanya, Mengapa takdir menjadi serumit ini. seandainya ia tahu lebih cepat bahwa Sean adalah saudara kandungnya, pasti hal ini tidak akan terjadi.

Fokusnya teralih ke pintu bergerak karena ada seseorang yang akan masuk.

"Gala. kamu istirahat dulu, biar papa yang ganti jagain Sean."

Itu suara Lucas, suara seorang ayah yang sempat tidak mau mengakui bahwa mantan istrinya sedang mengandung ketika mereka bercerai.

Tapi kebenaran menampar semua penolakkan. Sekuat apapun ia menolak Sean maka semua bukti yang akan telah membuat ia bisu dan tidak bisa berbicara lagi.

"Nggak pa, gala mau disini."

Lucas menatap sedih kearah anaknya yang sangat berantakan. Sudah sebulan lebih ia terus menyiksa diri, berharap Sean bangun dan memaafkannya.

Sejak Sean terbukti anak biologis Lucas, Lucas segera bergerak mencari pendonor ginjal untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Tidak bisa diragukan, dalam waktu kurang dari 24 jam Lucas berhasil menemukan pendonor yang cocok. Itu sudah pasti karena kekuasaan dan koneksi latar belakang keluarganya yang sangat mencolok, tidak heran jika ia bisa menyalip penerima ginjal yang seharusnya lebih dulu menerimanya dari pada Sean.

"Pulang dulu, kamu harus istirahat. Kamu mau pas Sean bangun kamu yang pingsan."

Galaksi mengelengkan kepalanya, sudah jelas ia tidak mau. Tapi ada rasa resah jika ia melepas genggaman tangannya.

"Pulang atau papa suruh dokter buat kasih kamu suntik obat tidur."ancam Lucas karena sudah tidak tahu mau berbuat apa lagi.

"Tapi pa..."

"Udah sana, sopir papa udah nungguin kamu. Jangan sampai kehujanan, payung ada papa taruh di depan sana."

Galaksi mengangguk patuh, mungkin dengan beristirahat sebentar tidak ada salahnya. Lagi dua hari ini ia sudah tidak pernah melihat mawar, karena mawar tidak diberi izin Lucas untuk keluar sementara karena kondisi janinnya yang lemah.

Galaksi melepas tangannya adiknya dan menaruh pelan-pelan di atas kasur, "Galaksi pergi dulu, nanti Arhan bakalan datang."

Lucas hanya mengangguk membiarkan Galaksi pergi dari tempat itu.

Ia bergegas menduduki tempat dimana yang dimana Galaksi duduki tadi. Sebenarnya ia sangat malu untuk bertemu Sean, bahkan dalam kondisi Sean tidak sadar sekalipun.

Satu bulan ini ia terus di hantui rasa bersalah, bagaimana tidak. Ia menjadi salah satu alasan Sean berada di tempat ini sekarang.

Bahkan dokter sendiri tidak bisa menebak kapan Sean akan sadar, sudah jelas alasan Sean tidak ingin bangun karena ia lelah dengan dunia yang ia hadapi.

"Sean, ini papa. Sean bangun ya, sekarang udah nggak ada lagi yang bakal jahat ke Sean. Kamu nggak kasihan sama Gala, dia tiap hari nungguin kamu bangun." Ucap Lucas menunduk membiarkan air matanya mengalir.

Persetan dengan umurnya, lagi pula hanya ia sendiri diruangan ini.

"Udah nggak bakal ada lagi yang pukul Sean, papa udah berhasil nangkap sutar. Kamu bangun ya, banyak yang nungguin kamu disini. Kemarin Ilene datang..., Tapi seannya nggak bangun."

Laut Pelarian (Tahap Revisi);Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang