RED: Red alert
--
Senin hanya menyebalkan bagi mereka yang tidak punya semangat kerja. Ya, aku saat ini contohnya.
Aku masih belum pulih dari efek kegagalan uji coba produk power wheelchairs kemarin. Sial, padahal dua jam lagi aku harus bicara pada Papa, mempertanggung jawabkan anggaran sebesar dua puluh lima ribu dolar yang kuajukan enam bulan lalu. Hospital expo semakin dekat dan jika aku tidak segera memberi terobosan bagus, Purp yang lagi-lagi akan berangkat mengurusnya, double shit.
"Mungkin kau perlu mengecek ulang operation panel-nya." Al berkomentar setelah dua kali memeriksa kursi roda yang sejak pagi tadi hanya kupandangi dalam diam.
"Aku sudah dua kali membongkar dan merakit ulang... mesinnya menyala Al, tapi entah apa yang membuatnya enggak mau bergerak." Aku benar-benar bingung, sudah hampir setahun aku bekerja untuk divisi Mechanical Engineering Research dan belum juga membuat terobosan signifikan. Ini adalah produk pertama yang harus kukembangkan, aku tidak ingin gagal.
Al kini beralih berjongkok, memeriksa motor brake yang ada di samping roda belakang. Dia mengamati dan setelah memeriksa di sana-sini, memberi anggukan. "Apa mungkin baterainya?"
Aku menggeleng, "Itu masih baru."
"Aku benar-benar bingung." Al kembali berdiri dan berjalan ke arahku. "Kau sudah mencoba motor brake-nya sebelum dipasangkan?"
"Ya, dan bekerja dengan baik, begitu juga dengan controller-nya."
"Kau bilang ini versi khusus untuk DMD?"
"Ya, ini kursi roda khusus penderita distrofi otot Duchenne. Para penderita DMD kehilangan fungsi otot secara bertahap dan biasanya mereka mulai menggunakan kursi roda listrik pada masa remaja... karena itu aku membuat ukuran dan desain kursi roda baru yang lebih sesuai." Aku beranjak berdiri dari tempat duduk, menggeser papan yang biasanya menutupi dinding kaca depan, menunjukkan beberapa potongan makalah penelitian dan grafik-grafik rehabilitasi medis yang menjadi dasar pembuatan kursi rodaku.
Al mengamati semua itu dalam diam, "Sejujurnya ini memang proyek bagus, Red."
Aku tidak pernah membuat proyek yang tidak bagus. "Entah apa yang salah."
"Mungkin kau harus membongkar ulang dan memastikan konek—"
"Waktuku kurang dari sembilan puluh menit, Al," selaku cepat lalu menunjuk kursi roda yang menjadi objek pembahasan kami. "Untuk membuatnya aku butuh waktu enam bulan."
Al menggaruk dagunya, "Kalau begitu, seenggaknya kau sudah menemukan bentuk rangka kursi roda yang sesuai."
"Itu bukan hal yang akan membuat Pascal Pasque terkesan."
"Kau toh enggak akan dipecat dari Pasque Techno."
Itu sama sekali bukan kalimat yang melegakan, memang benar bahwa aku tidak akan dipecat. Nama belakangku juga Pasque, aku memanggil Papa pada pemilik perusahaan ini... dan justru itulah masalah terbesarnya. Aku mengenal Papa nyaris sebaik aku mengenal diriku sendiri, hanya ada satu hal yang diakuinya di dunia ini, keberhasilan.
"Ah, stress," keluhku sebelum beralih ke lemari es, mengambil permen jelly. Aku mengemut satu lalu kembali memandangi kursi rodaku.
"Memangnya apa sih yang bakal dilakukan Big Boss jika kau gagal?" tanya Al dan sebelum aku menjawab, ia sudah menambahkan kalimat lagi, "Kalau harus bayar ganti rugi produksi, kau punya uangnya."
"Ini bukan masalah uang." Seandainya setiap kegagalanku bisa dibayar dengan ganti rugi uang, tentu segalanya akan lebih mudah. Tapi bukan begitu cara Pascal Pasque memberi pelajaran. Kali terakhir aku gagal memenuhi espektasinya adalah saat aku tidak menjadi lulusan terbaik kampusku, nilaiku termasuk bagus, aku juga cumlaude tapi dua hal itu tetap tidak sama dengan menjadi lulusan terbaik. Karena Purp bisa melakukannya, menjadi lulusan terbaik dan memberi pidato kelulusan yang mengagumkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)
ChickLit(Lima bab terakhir sudah diunpublished, sehubungan dengan kepentingan penerbitan) LAVENDER ROSE a first love story by Shaanis Setelah sepuluh tahun Rave Dihyan bertemu kembali dengan cinta pertamanya, namun sayang lelaki itu tidak mengingatnya. -- R...