RED: Inner voice
--"Iya, aku maunya makan siang di rumah, sama kamu."
Rave menarik tangan kanannya dariku, memalingkan wajah sebelum berdeham pelan, "Uh, ng... aku 'kan enggak bisa memasak."
Aku jadi terkekeh mendengarnya, sempat khawatir begitu Rave menyadari aku menyudahi sikap formal lalu dia akan keberatan, mengingat kesepakatannya dengan Purp.
"Grill bisa 'kan? Mama bikinin beberapa menu marinasi daging."
"Ohh... bisa, ada sayur juga? Aku suka bikin wrap."
"Ada, dan dessert cake, red velvet."
Rave tersenyum, "Red velvet karena merujuk pada namamu?"
"Itu sebenarnya kesukaan Rey, krimnya pakai campuran lemon dan buttermilk."
"Bikin sendiri?"
Aku menggeleng, "Waktu aku mengurus opera cake kemarin, Patissier menitipkan kue itu... belum lama Rey memang merayakan sesuatu dengan Purp di sana."
"M... mengurus? Jangan bilang cake kemarin itu dibuat berdasarkan permintaanmu?"
"Aku menyesuaikannya sebisa mungkin, diameter sepuluh, dipotong enam."
Rave tampak mengerjapkan mata, sejenak memandangku sepertinya ragu, entah tentang apa. Suaranya agak lirih sewaktu bertanya, "Uh... apakah kamu memang selalu sebaik itu? Apa karena tangisanku kemarin agak dramatis lalu membuatmu kasihan atau semacamnya?"
Aku mengerti maksud pertanyaan itu, Rave berusaha menilai lebih jelas atas tindakanku terhadapnya. "Enggak ada yang salah dengan tangisanmu dan meski aku selalu berusaha bersikap baik, soal kamu maksudnya lebih dari itu."
"M... maksudnya?" tanya Rave sebelum kemudian menepuk tangan pelan, "Ah! Aku mengingatkan kamu soal Mera, adikmu? Jadi kamu menganggapku sepertinya?"
Aku menahan senyum, karena meski suara Rave terdengar antusias dengan tebakan itu, tetapi ekspresi wajahnya tampak ragu, kegugupannya cukup ketara. "Enggak, aku enggak menganggapmu sebagai siapapun selain Rave Dihyan."
"O... oh, ng, haha... tentu saja, adikmu secantik Kak Purp, jadi aku— Eh!"
Rave berjalan mundur dan hampir terjengkang karena perbedaan tinggi teras rumah kaca, aku segera menahan tangannya, menarik sepelan mungkin untuk mengembalikan keseimbangan, meski sebagai gantinya posisi kami jadi begitu dekat. Dari jarak ini aku bisa menghitung dengan pasti jumlah bulu mata Rave yang lentik, berjajar rapi. Warna matanya terlihat lebih terang karena cahaya matahari dan aku... tiba-tiba merasa mengenalinya.
I'm taking picture of these lavenders.
"La... —Lavender..." sebutku tanpa sadar, kenapa muncul ingatan soal itu?
"Y-ya?" tanya Rave, pipinya terlihat merona sebelum berdeham. "Eh, kamu manggil atau nanya bibit yang kemarin aku tanam?"
"Are you taking picture of these lavenders?"
"Yeah, aku selalu mendokumentasikan pekerjaanku."
Aku sebisa mungkin menyadarkan diri dan segera melepaskan tangan Rave. Jika kami memang pernah bertemu sebelumnya, Rave tentunya tidak akan diam saja. "Hati-hati, ya... aku akan ganti alas kaki dulu sebelum bekerja."
"Oh, sure." Rave mengangguk-angguk.
Sembari beralih dari hadapannya, aku memperhatikan sekali lagi, mencoba memastikan ingatanku. Setelah sepuluh detik, aku menggeleng... Rave jauh lebih menarik dibanding gadis remaja yang dahulu pernah aku tolong.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)
Romanzi rosa / ChickLit(Lima bab terakhir sudah diunpublished, sehubungan dengan kepentingan penerbitan) LAVENDER ROSE a first love story by Shaanis Setelah sepuluh tahun Rave Dihyan bertemu kembali dengan cinta pertamanya, namun sayang lelaki itu tidak mengingatnya. -- R...