RAVE: Feeling fine

7.2K 2K 429
                                    

RAVE: Feeling fine
--

"Apa kabarnya Rare?" tanya Tante Masayu ketika aku hampir selesai menata irisan jamur.

"Eh, Tante tahu soal Rare?" Aku tidak menyangka.

"Ya, Red minta ditemani waktu ke pet shop dan mencari kandang."

Aku meletakkan irisan terakhir sebelum memandang Tante Masayu, "Anak-anaknya mulai pintar memanjat, keduanya jantan."

"Red bilang dia sudah membuat pemberitahuan soal penemuan tupai itu, petugas keamanan juga sudah coba berkeliling menanyai tetangga sekitar rumah... tetapi enggak ada yang mengakui."

"Daya jelajah tupai enggak jauh soalnya."

Tante Masayu mengangguk, "Mungkin Tante harus menghubungi petugas kebersihan, siapa tahu ada petugasnya yang membawa peliharaan ketika bekerja lalu terlepas atau bagaimana..."

Itu mungkin saja terjadi namun tentunya menjadi masalah jika si petugas ketahuan, "Eh, tapi... kalau petugas kebersihan membawa hewan peliharaan bukankah itu sebuah pelanggaran?"

"Memang benar, tapi tenang saja, Red bilang enggak ada kerusakan selain dinding rumah kaca yang memang lapuk... kami enggak akan mengajukan klaim apapun."

Rasanya lega mendengar itu, aku mengangguk, "Aku harap pejantannya Rare masih hidup, lalu mereka bisa berkumpul bersama."

"Dulu, sewaktu kecil Red menemukan burung yang terkena senapan angin, sayapnya koyak... ketika kami merawatnya dan burung itu sepenuhnya pulih, dia kesulitan melepaskannya."

"Lalu?"

"Papanya yang melepaskan burung itu."

"Uh, why?"

Tante Masayu meringis, "Selain karena memang habitat hidup si burung di alam terbuka, juga karena Papanya cemburu... Red lebih senang mengamati burung itu dibanding bermain bola bersamanya, padahal itu quality time mereka."

Aku lumayan bengong sesaat, "Apa kemudian Red baik-baik saja?"

"Dia kesal selama seminggu, tetapi setelah diajak ke kebun binatang, berfoto dengan beberapa burung... keadaan membaik." Tante Masayu mencuci tangan dan memindahkan beberapa mangkuk ke meja makan. "Maksud Tante bercerita karena merasa kamu begitu siap dengan perpisahan yang mungkin terjadi."

"O... oh, rasanya egois kalau terus menahan Rare dan anak-anaknya."

"Dulu Papanya Red juga mengatakan sesuatu yang semacam itu, bahwa menghalangi si burung untuk hidup di habitat aslinya merupakan tindakan egois... Red membalas dengan sedih, apakah dia enggak boleh egois untuk satu hal itu?"

Aku yang menyusul untuk mengantarkan piring pertama berisi potongan sayuran terdiam sejenak. Tante Masayu mengulas senyum lembut menerima piring di tanganku.

"Dan jawabannya?" tanyaku karena penasaran.

"Iya, dia memang enggak boleh egois untuk satu hal itu... lalu Papanya menambahkan, Red hanya boleh egois untuk satu hal yang nanti benar-benar dia inginkan, yang tiada duanya dan hanya bersamanya hidup menjadi lebih berarti."

Itu jawaban yang punya makna terlalu dalam dan karena tidak tahu harus menanggapi yang bagaimana, akhirnya aku beralih kembali ke piring lain yang harus dipindahkan. Sembari memikirkan kata-kata Tante Masayu, aku rasa... jika ada seseorang yang nantinya mampu membuat Red bersikap egois untuknya, sosok tersebut pastilah sangat luar biasa.

***

"Hiza..." panggilku sewaktu melihatnya berjalan masuk ke ruang makan.

Hiza mendekatiku, mengulurkan tangan untuk menangkup wajahku sebentar dan menghela napas lega. Ketika menjauhkan tangan, Hiza merogoh saku, ganti mengulurkan ponselnya. "Telepon ibu dulu."

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang