RED: This girl
--Rave punya tangan yang kecil, dengan kuku jari dipotong pendek, bersih, terasa hangat dan lembut. Eh, lembut? Aku sampai memastikan dengan mengangkat genggaman tangan kami.
"Kenapa?" tanya Rave karena aku mengamati tangannya.
"Tanganmu... it's so soft." Tekstur tangannya juga bagus, berwarna merah muda dengan tiga garis melintang yang terlihat jelas.
"Aku enggak terlalu berminat dengan make up, tapi ibu selalu memaksa soal lotion, sunscreen dan hand cream." Rave kemudian merogoh tasnya dengan tangan kiri, menunjukkan botol tube kecil, "Mau coba? Hiza juga pakai ini."
Aku mengangguk lalu begitu kami beralih duduk bersama, Rave menuangkan sedikit isi tube hand cream, meratakannya dengan ekspresi serius.
"Tanganmu pernah sakit?" tanya Rave, menyadari bekas luka jahit di tanganku.
"Accident, tangan kanan saya sempat terluka cukup parah."
Rave menatapku sebelum kembali mengoleskan sisa krim menyusuri bekas luka tersebut, "It's okay, sekarang sudah jadi tangan yang keren dan hebat."
"Kamu enggak penasaran kecelakaan macam apa?" tanyaku.
"Apakah mengerikan?" tanya balik Rave sebelum membuat ringisan, "Aku benci hal-hal mengerikan dan traumatis."
Aku tertawa pelan, Rave memang terlihat penakut. "Enggak, sekarang sudah baik-baik saja... jurusan awal saya pendidikan untuk rehabilitasi medis."
"Serius?"
"Ya, kurang lebih dua tahun saya belajar lalu saat liburan ke Jepang, saya berkeliling naik motor dengan beberapa teman, sewaktu perjalanan pulang turun hujan dan saya tetap nekat berkendara, tergelincir di tikungan, sebelum terdesak pengendara lain, patahannya cukup parah, dua kali pembedahan untuk memastikan saya bisa menggunakannya lagi."
Rave sepertinya bisa menebak kelanjutan ceritaku, "Tapi enggak bisa kembali seperti semula?"
Aku mengangguk, "Saya masih harus melatih peregangan jari dan daya cengkram sampai sekarang, walau saat ini keadaannya bisa dibilang sangat baik."
"Kenapa rehabilitasi medis?"
"Saya melihat sendiri bagaimana orang yang semula enggak mampu bangun dari tempat tidur, berangsur bangkit bahkan berjalan kembali." Aku juga menatap tangan kananku, menggerakkannya pelan, "Bagaimana saat setiap jari bisa kembali merasakan dan bergerak lagi."
"It's awesome," kata Rave dengan raut sungguh-sungguh.
Aku terkekeh, "Senang rasanya kamu memilih kata itu dibanding amazing."
Rave balas terkekeh sebelum menutup kemasan hand creamnya, "Kamu benar-benar kesal kalau Kak Purp mengatakan amazing?"
"Sometimes... karena saya enggak amazing seperti Purp."
"Because you're awesome," ucap Rave sebelum terkesiap, bergegas membuka buku menu, bergumam tentang gambar beberapa hidangan makan siang yang terlihat enak.
Aku tersenyum memperhatikannya, sadar itu tadi bukan jenis flirting yang biasanya dilakukan perempuan di sekitarku untuk memastikan kami bisa melakukan pendekatan lebih. Rave selalu terdengar apa adanya, cenderung spontan, tidak dibuat-buat.
Karena tidak ingin membuat situasi canggung, aku mengikutinya untuk memeriksa menu, memanggil pelayan saat waktunya memesan lalu kami makan bersama sembari membahas beberapa lembar plant design. Rave sangat serius menjelaskan perubahan susunan tanaman, bukan sekadar pengelompokan warna agar tampilan taman menjadi indah tapi juga jenis bunganya, semua itu disesuaikan dengan keadaan taman Pasque House. Aku suka mendengar Rave bicara, membuatku merasa bahwa Pasque Green House bukan sekadar pekerjaan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)
ChickLit(Lima bab terakhir sudah diunpublished, sehubungan dengan kepentingan penerbitan) LAVENDER ROSE a first love story by Shaanis Setelah sepuluh tahun Rave Dihyan bertemu kembali dengan cinta pertamanya, namun sayang lelaki itu tidak mengingatnya. -- R...