RED: Feel and fall
--Mama jelas terkejut ketika aku menjemputnya, bukan hanya terlambat lebih dari setengah jam, namun juga karena adanya Rave di kursi penumpang belakang. Ketika aku menjelaskan situasinya, Mama dengan cepat mengerti. Mama juga memeriksa Rave, memastikan napasnya teratur, denyut nadinya tidak melambat, juga tubuhnya tidak kehilangan suhu ideal. Mama memang punya banyak pengalaman untuk kasus pertolongan pertama, karena itu kami yakin untuk membawanya pulang.
Aku membaringkan Rave di kamar Mera, yang terdekat dengan ruang duduk. Mama tentu saja langsung menjelaskan situasinya pada Papa. Bukan hanya karena kami sangat terlambat pulang, namun juga karena membawa Rave yang tidak sadarkan diri. Aku tidak memperhatikan apa yang orang tuaku bicarakan, yang jelas lima belas menit kemudian Mama menemaniku menjaga Rave.
Ketika aku bersikeras untuk mengambil sample darah Rave, agar bisa dianalisis, Mama menghalangi. Itu memang tindakan yang membutuhkan persetujuan, baik dari wali atau Rave sendiri. Tapi sejujurnya aku sangat yakin bahwa Rave diberi minuman yang mencurigakan. Aku hanya ingin Rave punya bukti jika ia harus melakukan pembelaan diri.
"Masayu mengusirku," kata Papa ketika menyusul ke lobi, aku menunggu kakak Rave.
"Papa pasti berkomentar yang enggak perlu," tebakku.
"Papa enggak komentar apapun."
Aku langsung sadar apa masalahnya, "Enggak berkomentar tapi memberi tatapan remeh."
"Papa enggak pernah meremehkan Masayu."
"Rave, Papa pasti memberi tatapan semacam itu, membuat Rave enggak nyaman."
Papa tidak lagi mendebatku, justru berujar santai, "Dia cukup mahir menggunakan pisau dan enggak kikuk membantu Masayu... tapi tetap saja sulit membayangkannya sebagai menantu."
Aku menghela napas, "Purp bicara pada Papa soal penilaiannya terhadap Rave?"
"Belum, tapi Purp jelas berpikir seperti Papa," katanya sebelum raut wajahnya berubah tidak sabaran, "Papa benar-benar khawatir sekarang, haruskah kita undang keluarga Chandra makan malam bersama hari Minggu nanti?"
Aku geleng kepala, "Purp memberiku waktu sebulan untuk berpikir."
"Sebulan sejak kapan?"
"Sejak seminggu yang lalu."
"Terlalu lama! Lagipula kita biasa makan malam bersama keluarga Chandra."
"Kita sudah enggak pernah makan malam bersama mereka sejak aku lulus sekolah..." sebutku sebelum menghela napas lagi, "Sejujurnya, sekalipun Purp memberi waktu untuk memutuskan, aku enggak terpikir untuk menyetujui rencana perjodohan."
"Ayudia Chandra adalah pacar pertamamu."
"Ya, dan hubungan itu sudah berakhir lama sekali."
"Beberapa hubungan enggak berakhir begitu saja."
"Hubunganku begitu dan aku enggak punya perasaan lebih terhadap Yudia selain sebagai teman... rencana perjodohan ini hanya akan membuat kami jadi canggung pada satu sama lain."
Papa bersedekap, "Jadi... kamu memilih Rave?"
"Astaga!" keluhku sebelum memandang Papa lekat, "Ini bukan soal aku memilih antara Rave atau Yudia... aku enggak punya waktu untuk urusan percintaan."
"Tapi kamu punya waktu untuk urusan Rave."
"Aku hanya membantu... ingat sewaktu Mera pingsan, diberi segelas martini di acara ulang tahun temannya, seseorang menolong dan menjaganya sampai aku datang untuk menjemput."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)
ChickLit(Lima bab terakhir sudah diunpublished, sehubungan dengan kepentingan penerbitan) LAVENDER ROSE a first love story by Shaanis Setelah sepuluh tahun Rave Dihyan bertemu kembali dengan cinta pertamanya, namun sayang lelaki itu tidak mengingatnya. -- R...