RAVE: Chocolate

6.8K 1.9K 286
                                    

RAVE: Chocolate
--

"Kenapa menurutmu begitu?" tanya Red.

"Karena semua pekerjaan itu melelahkan, begitu juga dengan perusahaan, akan ada masa-masa sulitnya. Tetapi jika pekerjaan itu merupakan hal yang kamu sukai, perusahaan juga merupakan hal yang penting bagimu... kamu enggak akan menyerah terhadap keduanya."

Itu sebenarnya kata-kata Nenek, sewaktu aku bertanya mengapa diantara semua pekerjaan hebat yang bisa dilakukannya, justru memilih mengelola rumah perawatan bagi para lanjut usia. Sebelum dipegang Nenek, usaha itu sebenarnya sudah hampir dilepaskan, tanahnya hampir diratakan untuk dijual pada pengembang. Tetapi berkat kegigihannya, semua kesulitan perlahan terurai dan Kusuma Wijaya Senior Living justru semakin sukses, sampai kami bisa memperluas lahan hingga menyadiakan fasilitas kesehatan secara mandiri.

"Kata-kata itu pasti akan saya ingat, terima kasih."

Memperhatikan bagaimana raut wajah Red tersenyum, aku ikut merasa senang. Meskipun selama ini terlihat bahwa ia dan keluarganya sangat luar biasa tetapi setiap orang itu pasti memiliki satu atau dua kegelisahan. Rasanya menyenangkan karena bisa membantunya.

"Apakah sekarang bisa mengambil foto di air mancur cokelat itu?" tanyaku, mengingat jam makan siang juga sudah hampir usai, tidak terasa hampir satu jam kami di sini.

"Tentu, saya habiskan ini dulu." Red mengangkat sisa lemon tea di gelasnya.

Aku membereskan tasku, membalas chat Hiza sambil memperhatikan pelayan mendekat, menyerahkan lembar pembayaran. Red tidak tertarik melihat lembar pembayaran itu, ia langsung menyerahkan kartu pembayarannya, "Saya ingin melihat-lihat ke area air mancur cokelat, nanti bisa diantarkan ke sana."

"Baik," jawab pelayan lalu membawa kartu Red untuk memproses pembayaran.

"Ayo," ajak Red.

Aku segera berdiri untuk mengikutinya berjalan menuju gazebo, masih ada tiga pengunjung yang berkeliling, mengambil potongan buah untuk dicelupkan ke air mancur. Ketiganya perempuan dan ketika Red mendekat, masing-masing dari mereka seperti menahan napas sesaat.

"Kamu mau? Bisa take away," kata Red lalu mengambil paper box di sudut meja.

"Strawberry saja, kelihatannya segar-segar," kataku sembari mengikuti Red beralih ke area buah-buahan potong. Untuk strawberry buahnya masih utuh, diberi tusukan bambu, seperti lollipop.

"Coba celupkan." Red mengulurkan satu.

Aku menerimanya, tidak bisa menutupi antusiasme ketika mendekatkan strawberry itu hingga perlahan buahnya dilumuri lelehan cokelat. Ya, ampun tidak sabar untuk bisa mencicipinya.

 Ya, ampun tidak sabar untuk bisa mencicipinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ckrek.
Aku menoleh, Red tersenyum, menunjukkan layar ponselnya. Dia memotretku, dan astaga, aku terlihat lumayan di sana, apa mungkin karena ponsel Red jauh lebih mahal dari milikku?

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang