RAVE: Blooming

7.3K 1.9K 255
                                    

RAVE: Blooming
--

"I know what you feel, tapi sungguh, kamu melakukannya dengan baik." Rasanya aku ingin terus mengulang kalimat itu, Red baik sekali. Ia seakan mengerti kegugupanku.

Pascal Pasque jelas bukan lawan bicara yang mudah, bukan hanya karena pertanyaan kritisnya yang sedikit mengintimidasi, tapi dari penilaiannya terhadapku juga. Aku, entah kenapa bisa merasakan jika seseorang menganggapku aneh atau kurang menarik. Yah, well... bukan berarti aku mencoba menarik perhatian. Aku cukup sadar diri, sebaik apapun aku mencoba berdandan untuk menarik perhatian Red, itu tidak akan berguna jika Red hanya menganggapku sebagai partner kerja.

"Nah, ini bisa kamu simpan," kata Red lalu mengulurkan salah satu map di tangannya.

Map tersebut artistik sekali, "P for Pasque?" tanyaku memperhatikan logo huruf P berwarna keemasan di tengah map.

"Ya, kemarin sewaktu di Singapore, Mama memberi tahu soal map ini... katanya for something good in the future," jawab Red dan mendekap mapnya sendiri. "Kamu bisa menyimpannya di tas dulu sebelum kita pindah ke ruanganku dan menjemput Rare, serta anak-anaknya."

Aku mengangguk, segera memasukkan map berisi kotrak bagianku ke dalam tas. Setelahnya aku mengikuti Red keluar ruangan. Ketika melintasi ruang sekretaris aku baru menyadari ada potret berbingkai emas dipajang dekat hiasan bunga anggrek yang diawetkan. Itu potret ayah Red dengan seorang wanita yang menurutku tidak hanya cantik, tubuhnya semampai bak model meski dengan setelan formal dan rambut terikat rapi.

"Wow..." sebutku.

"Kenapa?" tanya Red sebelum ia mengikuti arah pandangku, "Ah, Papa mengawetkannya karena bunga anggrek itu hadiah dari mendiang oma untuk Mama."

Aku menunjuk wanita yang berfoto bersama Pascal Pasque, "Mamamu?"

"Ya, sebelum Pak Edwin, Mama adalah sekretaris Papa."

"For real?" tanyaku saking terkejutnya.

"Yeah, sampai sekarang sebenarnya masih membantu pengelolaan anak perusahaan Pasque Techno." Red meringis dengan raut geli, "Dan sejujurnya itu memang bukan pekerjaan yang mudah, menghadapi Papa dengan segala sikap kritis, sekaligus tuntutan kesempurnaannya."

"Aku pikir semua anak lelaki seharusnya ada di pihak ayah mereka," kataku, ikut meringis.

"Well, I'm not," ucap Red sebelum pintu otomatis terbuka dan kami keluar bersama-sama.

***

Mirip bengkel, itu adalah pikiran pertamaku saat Red membuka pintu menuju ruang kerjanya dan mempersilakan aku untuk masuk. Ruangan ini setidaknya tiga kali lebih luas dari ruang kerjaku, dengan area depan yang sepertinya sengaja dikosongkan untuk pekerjaan mekanik, ada kabel-kabel menjutai juga lantai dengan papan hidrolik. Dinding di sekitarnya lumayan penuh dengan kode-kode produksi, gambar-gambar kursi roda sampai hitungan mekanik. Papan tulis beroda di depan dinding itu ditempeli berbagai artikel, bagan, bahkan jurnal. Lalu ada desain rangka sebuah kursi roda dengan berbagai coretan spidol. Setelah itu ada tumpukan majalah bioteknologi, meja kerja berbentuk L dengan komputer dua layar dan sebuah printer. Kursi duduknya terlihat ergonomis, ada lekukan di bagian punggung juga leher.

"Itu ada jendela sungguhan?" tanyaku pada area di belakang kursi yang tertutup tirai. Tirai itu juga ditempeli berbagai artikel dalam Bahasa Inggris, tentang robotics operating bed, sampai magnetic system. Semua itu terlihat begitu rumit bagiku.

"Ya, kalau ada Mama harus dibuka," jawab Red, berlalu ke lemari es kecil dekat rak buku.

Rak buku itu memiliki enam ruang, tiga terbawah digunakan untuk penyimpanan alat, tiga diatasnya digunakan untuk berbagai dokumen, buku-buku tentang teknik mesin, manufaktur, rehabilitasi medis, sampai teknologi kesehatan terbarukan. Ada sebuah foto yang Red pajang di rak teratas, ia bersama orang tuanya berfoto di depan ruangan ini. Sama seperti foto yang kulihat di ruangan ayahnya, ibu Red terlihat mengagumkan. Aku yakin ibuku pasti penasaran dengan bagaimana ibu Red melakukan perawatan wajah.

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang