RAVE: Pasque House
--"Welcome to Pasque House."
Ketika menghentikan mobil di gerbang depan yang kelewat tinggi beberapa menit lalu, aku sudah merasa bahwa rumah ini tidak biasa. Sekarang, ketika berdiri tepat di pintu masuknya, aku semakin kesulitan menahan decak kagum. Sekalipun sebagian besar furnitur di dalamnya terlingkupi kain penutup, lukisan dan beberapa potret diturunkan, lampu-lampu juga diberi pelindung khusus, namun rumah ini jelas mewah.
Aku mengikuti Red masuk, cukup jauh dari pintu utama, mengenali jejak usaha pembersihan yang dilakukan. Sembari berjalan aku memperhatikan ada dua koridor lengang, kami berbelok ke sayap kanan rumah dan sampai di ruang duduk dengan empat kursi warna beige yang terlihat nyaman.
"Rumah ini sudah lama enggak ditinggali, semalam juga sudah agak larut saat saya sampai, tapi semoga ini cukup nyaman," kata Red sembari mempersilakan kursi duduk.
Aku duduk di hadapannya, setenang mungkin menanggapi, "Pak Vido enggak bersamamu?"
"Akhir pekan ini dia sudah punya rencana, memancing."
"Kamu sendirian di sini? Sejak semalam?"
Suaraku terdengar agak dramatis tapi berada di rumah sebesar ini sendirian tetap saja terasa menakutkan. Aku selalu merepotkan pengurus rumah setiap kali ditinggal ayah dan ibu ke luar kota, padahal rumahku tidak besar-besar amat.
"Kedepannya saya akan tinggal di sini, jadi... sekalian saja mulai membiasakan."
"Tanpa pelayan?"
Red terkekeh pelan, "Memang kedengarannya agak merepotkan, tapi Mama yang biasa membuat pengaturan untuk itu sedang sibuk merawat Opa di Singapura. Jadi, sementara saya memang tinggal sendiri."
Aku pikir orang dengan latar belakang sepertinya akan lebih senang melibatkan pelayan. Red bahkan dipanggil Tuan Muda saat aku mendengar penjaga menelepon tadi. Aku tidak menyangka dia berpikiran sesederhana itu.
"Sejujurnya dibanding rasa takut, rasa sedih karena berada di rumah ini yang lebih dominan," lanjut Red sebelum meringis dan menghela napas panjang. "Jadi, apa saja yang harus saya lakukan untuk membantumu?"
Perubahan topik yang tiba-tiba itu menyadarkan aku bahwa Red tidak ingin membahas tentang rumah ini lebih jauh. Aku mendekap kotak perlengkapanku kembali, "Tunjukkan di mana bangunan cantik itu berada."
***
Untuk sampai ke halaman belakang tempat rumah kaca itu berada, aku harus melewati area ruang keluarga dengan perangkat home theatre yang terlihat canggih, ukuran layarnya mungkin menyamai ukuran dinding kamarku. Setelah ruang keluarga itu ada tangga lebar menuju lantai dua, namun kami hanya lewat di depannya, menuju area ruang makan dengan meja panjang dan dua belas kursi. Lampu gantungnya membuatku melongo, benar-benar cantik... menjuntai bagai hujan kristal. Aku jadi membayangkan makan malam bersama keluarga Red di sana.
Hah?
Makan malam bersama keluarga Red?
Aku seketika menggelengkan kepala. Benar-benar tidak tahu diri karena membayangkan hal semacam itu. Memangnya siapa aku?"Kenapa? Apa ada hal yang mengganggumu?" tanya Red.
Aku hampir tergagap karena menyadari dia melambatkan langkah dan menolehku, "O... oh, aku hanya kagum, rumahmu luar biasa sekali."
"Secara teknis ini masih rumah Opa." Red meralat sebelum membawaku ke pintu ganda di ujung ruangan yang ternyata mengarah ke halaman belakang. Ia hanya membuka salah satu pintu. "Sori kalau berantakan, sudah cukup lama rumah ini enggak ditempati... kalaupun ditempati, enggak pernah lebih dari beberapa jam dan sejak Oma meninggal, halaman belakang sama sekali enggak terurus."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)
ChickLit(Lima bab terakhir sudah diunpublished, sehubungan dengan kepentingan penerbitan) LAVENDER ROSE a first love story by Shaanis Setelah sepuluh tahun Rave Dihyan bertemu kembali dengan cinta pertamanya, namun sayang lelaki itu tidak mengingatnya. -- R...