RAVE: Emerald

8.3K 2K 370
                                    

RAVE: Emerald
--

Red Alexander Pasque
Landed safely.

Itu adalah chat pertama yang kubaca pagi ini dan Red melampirkan sebuah foto. Semalam dia memberi tahu akan ke Singapura untuk dua hari. Sebisa mungkin aku bersikap tenang, menghela napas panjang lalu mengunduh file foto tersebut. Setelah beberapa detik dan melihat foto yang dikirimkannya, aku begitu saja merebahkan diri. Ya Tuhan, Yang Maha Kuasa... Red Alexander Pasque mengirimkan foto selfie padaku. Ini pasti merupakan salah satu hari baik dalam hidupku. Tanpa sadar aku menendang-nendang selimut ketika memperhatikan fotonya lagi. So damn handsome...

 So damn handsome

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rave..." suara itu membuat kakiku otomatis berhenti menendangi. Ibu mendorong daun pintu hingga terbuka dan melongokkan kepala. "Kamu kenapa, pagi-pagi sudah ribut?"

Aku segera bangun dan mengarang alasan. "O... oh, aku melindur."

"Melindur?"

"Ya, oh! Ibu bikin sarapan apa?" tanyaku sembari turun dari tempat tidur, segera beranjak ke pintu dan mendorong Ibu menjauhi kamarku. Nanti saja balas chatnya Red.

"Soto, hari ini kamu sibuk?"

"Enggak, cuma ada beberapa konsultasi online, kenapa?"

"Nanti sore temani Ibu belanja ya... kemarin Aa bilang, bajumu banyak yang udah enggak layak pakai, jeansmu juga tinggal dua yang enggak sobek lututnya."

Aku agak malas soal ini, meski memang benar sudah beberapa kali Hiza berkomentar soal noda-noda di kausku yang terlalu ketara, juga soal robekan di jeansku yang makin melebar. Aku tidak pernah awet kalau urusan pakaian, jika bukan kena kotoran getah tanaman, tanah, atau pupuk, pasti karena aku ceroboh makan kue atau buat minuman dan tumpah. Soal celana jeans juga, aku gemar berlutut di tanah, bergeser tanpa berdiri lebih dulu, jadi bagian lututnya sering koyak.

"Ibu periksa bootsmu juga sudah harus ganti, sarung tanganmu juga tinggal dua di rak."

Aku mengangguk-angguk sambil berlalu ke meja makan, begitu duduk mendadak aku teringat satu hal. "Eh, uhm... aku juga mau beli gaun."

"Gaun?" tanya Ibu yang membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol air putih.

"Yup, gaun, gaun biasa saja, enggak formal, standar tapi cukup manis." Aku memperhatikan diri sendiri. "Terus bagaimana soal potong rambut?"

"Kamu harus telepon Ayah kalau soal potong rambut."

"Ah, benar juga." Aku membuka gelas dan ibu menuangkan air putih, memenuhinya.

Karena sejak kecil sudah menyukai penampilan tomboy, ayah agak protektif soal rambutku. Bahkan sewaktu Nenek mengantarku potong rambut dan membiarkan aku memilih potongan seperti rambut Hiza, ayah memprotes sambil melarang hal itu terjadi lagi. Menurut ayah harus ada satu hal yang setidaknya mengidentifikasiku sebagai anak perempuan. Soalnya dadaku juga tidak besar-besar amat, seringnya justru tampak datar karena menggunakan sport bra.

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang