RED: Pressure

7.8K 2K 436
                                    


update bab ini jumlah katanya hampir 2.000, jadi bacanya pelan-pelan aja yha bestie :))


•• 🦋 ••

RED: Pressure
--

Rave mengganti gambar profil chatnya dengan foto yang aku ambil. Di dalam foto itu dia terlihat cantik, antusias dan gembira. Rave benar-benar penyuka makanan manis dan kurang suka makanan pedas, bahkan saus sachet untuk burger atau ayam goreng saja bisa membuatnya kepedasan. Saat kepedasan, wajahnya memerah dan hidungnya mampet. Dia lebih dekat dengan ibunya, sama sepertiku. Ayahnya mirip Hiza, kata Rave dalam versi yang lebih tegas. Setiap bulan, orang tua Rave mengatur waktu untuk berkunjung ke Jakarta, biasanya di minggu terakhir dan mereka akan menginap atau berbelanja bersama. Namun, karena masalah dengan Harits kemarin, Ibu Rave saat ini ikut tinggal di rumah sewaan. Beberapa kali aku melihat update statusnya di chat, Ibu Rave seumuran Mama, terlihat trendy sekaligus bersahaja.

Anehnya orang tua Rave tidak terlihat asing ketika pertama kali aku memperhatikan fotonya. Sebenarnya, semakin lama aku mengamati Rave dan Hiza, mereka juga tidak terlihat asing. Memang dengan kesibukan kami di Pasque House, intensitas dan durasi pertemuan yang kami habiskan bersama, mustahil masih merasa asing. Hiza agak protektif, mirip sepertiku terhadap Mera. Sekalipun tidak pernah menunjukkan sikapnya secara berlebihan, ia memastikan aku memahami aturan jika pergi bersama Rave.

Seperti ketika mengajak Rave makan siang, dia menghubungiku sekadar memastikan bahwa kami tidak pergi dengan motor. Atau ketika dua hari kemudian aku mengajak Rave untuk mencari lampu taman, Hiza meneleponku dan memberi tahu akan menjemput adiknya setelah kami selesai berbelanja. Sungguh, aku tidak keberatan dan bisa memahami caranya mencoba melindungi Rave. Aku akan melakukan hal yang sama jika Mera didekati seorang lelaki.

"Cantik tuh..."

Ucapan itu otomatis membuatku menutup layar ponsel, mendongak pada Saga yang baru datang. Dia mengangkat alisnya sembari tertawa.

"Dipanggil dari tadi, enggak menyahut, tahunya sibuk ngelihatin yang cantik!" gerutunya sebelum duduk di samping kananku, merangkul sekadar untuk memberi tepukan di bahu sebelum bergeser sedikit. "Itu tadi yang dua minggu terakhir ini bikin kamu enggak protes dianggurin."

"Dianggurin? Aku juga sibuk, tahu!" Aku bahkan belum sempat pulang ke rumah.

"Kakak bilang, kemungkinan kamu bakal bawa pasangan ke acaraku."

Kakak adalah panggilan Saga untuk Rey. "Belum tahu, aku baru dekat sama Rave."

"Rave." Suara berat yang agak serak dan amat kukenali menyahut.

Saga mengangkat tangannya untuk high-five dengan Laz. Denganku, dia lebih suka mengadu tinjuan, walau tidak serius ketika kepalan tangan kami bertemu. Ini adalah salam keren yang masih kami pertahankan, yang kadang membuat orang lain mengernyit, menganggap kekanakan.

"Jangan bilang aku ketinggalan bagian serunya," sebut Laz lalu menempati sisi kiriku.

"Baru mulai, tapi aku sudah lihat orangnya," kata Saga.

"Oke, sekarang giliranku." Laz tanpa ragu meraih ponselku.

Aku tertawa, membiarkannya menggunakan ibu jariku untuk menyalakan layar dan melihat foto Rave yang belum sempat kututup.

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang