RAVE: Memories

7.5K 1.9K 185
                                    

RAVE: Memories

"Ya, terutama jika itu menyangkut pada seseorang yang bersamamu saat ini."

Di antara sekian banyak percakapan yang kami lakukan, yang sekarang ini terasa paling mendebarkan. Sebenarnya sejak Red berhenti bersikap formal, setiap hal semakin membuatku gugup. Ini kegugupan yang paling sulit diatasi dengan sikap tenang, aku begitu saja beranjak berdiri, melupakan kaleng soda di tanganku hingga membuatnya tumpah.

"Easy..." kata Red, masih setenang biasanya saat menahan lenganku. "Kamar mandinya di sebelah sana dan tinggalkan kaleng sodanya dulu."

"O... oh iya." Aku segera meletakkan kaleng yang masih tergenggam tangan kananku dan begitu Red melepaskan pegangan, aku bergegas ke kamar mandi.

Memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat, aku berusaha menormalkan napas sebaik mungkin. Saat beralih memandang wajahku di cermin, entah kenapa terasa agak memalukan. Pipi sampai leherku memerah, astaga! Apa yang sebenarnya kami bicarakan tadi? Apa maksudnya Red berkata seperti itu?

Yang lebih penting itu bertindak sesuai dengan apa yang kata hatimu yakini. Red mengatakan itu dan setelah aku menanggapinya, dia menambahkan kalimat; terutama jika itu menyangkut pada seseorang yang bersamamu saat ini.

Seseorang yang bersamaku saat itu adalah dirinya, 'kan? Itu berarti Red menanyakan tentang dirinya sendiri? Oh, apa Red menyadari bahwa aku menyukainya? Atau dia sekadar menggodaku? Red memang agak jahil, aku masih ingat sewaktu dia tiba-tiba mengoleskan lelehan cokelat dulu. Tapi jika dia hanya berniat menggoda atau bersikap jahil, mengapa sikapnya serius sekali?

Aku geleng-geleng kepala sembari menyalakan air keran, ada satu kemungkinan yang terlintas dalam pikiranku. Satu kemungkinan yang mendekati kata mustahil, bahwa Red menyukaiku.

Aku? Rave Dihyan yang selama dua bulan terakhir bekerja untuknya, memperbaiki rumah kaca milik mendiang neneknya dan berusaha menumbuhkan tanaman di sana?

Aku juga bukannya enggak khawatir, tapi yang lebih penting itu bukan siapa yang mencoba menghalangi atau meminta menjauhi.

Astaga, memikirkan kata-kata Red membuatku merasa pening. Aku mematikan keran sebelum mundur, duduk di kloset yang tertutup. Bagaimana aku harus menghadapi Red setelah keluar dari tempat ini? Tidak mungkin berpura-pura bahwa percakapan kami sebelumnya sudah terlupakan atau berpikir bahwa apa yang terjadi tadi sama sekali tidak berarti.

Tock tock...

"Rave..." suara Hiza.

Aku segera mendekat ke pintu, memastikan, "Hiza?"

"Red bilang celanamu ketumpahan cola, aku bawakan celana ganti yang di mobil."

Sebenarnya aku penasaran kenapa Hiza kembali begitu cepat, tapi syukurlah... dengan begini aku punya kesempatan menghindar. Aku membuka pintu hingga memiliki celah yang cukup untuk Hiza menyelipkan celana jeans bersih. Kami memang punya kebiasaan untuk menyiapkan baju ganti di mobil, kalau aku karena sering berkotor-kotor mengurus tanaman, sementara Hiza kerap terbentur jadwal kegiatan yang padat, tidak sempat pulang.

Aku lebih dulu menyeka bagian paha yang terkena tumpahan cola, memastikannya tidak menimbulkan rasa lengket sewaktu berganti celana. Aku melipat celana yang basah serapi mungkin, menarik dan mengembuskan napas sebanyak dua kali, baru membuka pintu kamar mandi.

Hiza dan Red mengobrol sambil menghabiskan sisa potongan daging di panggangan. Aku seketika merasa kenyang setelah kejadian tadi.

"Kamu mau makan lagi?" tanya Red.

Aku menggeleng, "Enggak, udah kenyang... aku taruh ini di mobil dulu."

Hiza menyodorkan kunci mobilnya dan aku bergegas pergi, ketara bahwa aku menghindar. Apa boleh buat, karena saat ini rasanya detak jantungku belum cukup stabil untuk menghadapi Red.

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang