RED: Interesting

7.4K 2.1K 328
                                    

RED: Interesting
--

Rave memulai pekerjaannya dengan mengeluarkan sebuah celemek dari dalam kotak perlengkapan, mengisi setiap kantung bagian depan celemek itu dengan notes, pulpen, alat pengukur, dan kamera digital. Pertama-tama Rave memotret semua bagian taman, memotret rumah kaca, setiap ciri khas dan ukiran yang harus dipertahankan, baru kemudian melakukan pengukuran.

Sepanjang aku memperhatikan, Rave bergerak dengan begitu terstruktur, belum sekalipun aku melihatnya harus mengulang satu kegiatan yang sama. Ia tidak canggung berjongkok, berlutut, atau bahkan duduk langsung di tanpa menggunakan alas. Rave menghabiskan waktu cukup lama ketika membuat catatan, sesekali ia bertanya, sumber air, sumber listrik juga area penyimpanan, namun setelah itu Rave seperti tenggelam dalam kegiatannya sendiri.

Ketika aku meninggalkannya untuk menelepon, Rave juga tidak teralihkan. Sesungguhnya aku menyukai kinerja yang semacam itu, fokus dan professional. Rave juga tidak banyak berkomentar ketika aku membuat ungkapan yang agak emosional tadi, rasanya aku belum pernah merindukan Oma sampai sedalam ketika memasuki rumah kaca.

Selesai menelepon dan memberikan beberapa instruksi pada penjaga di depan, aku kembali ke rumah kaca, memperhatikan Rave berjongkok di sudut rumah kaca, tempat tumpukan pot-pot yang kosong. Di meja dekat kotak perlengkapan terlihat komputer tablet dan buku catatan yang terbuka, banyaknya foto yang diambil juga catatan yang memenuhi bukunya, aku tahu bahwa Rave benar-benar punya kompetensi di bidang ini. "Apa kamu sudah se—"

"Ssttt..." sebut Rave ketika aku melangkah masuk, dia menoleh dengan jari telunjuk menyentuh bibir.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ada bayi tupai," kata Rave sebelum pelan-pelan bergeser mundur, menunjukkan apa yang ditemukannya.

Aku terkesiap mundur, mencoba memperhatikan lebih jelas, "Bayi tupai? Kamu yakin itu bukan tikus?" tanyaku, sejujurnya tidak yakin karena belum pernah melihatnya.

Rave terkekeh pelan, "Lihat ekornya, dia sudah berumur beberapa hari."

"Aku akan panggil orang untuk mengurusnya."

"Mengurus bagaimana? Induknya belum kembali..." Rave menunjuk ke lubang dinding yang cukup besar di samping bongkahan pot tempat dua anak tupai itu terbaring, "Jika kita harus memindahkannya, itu harus bersama induknya sekalian."

"Begitu 'kah?" tanyaku, karena tidak mengerti.

Rave mengangguk, "Ketika menemukan anak binatang, terutama mamalia, apalagi primata, kita sebaiknya mengembalikan pada induknya— oh, dia kembali, mundur-mundur..."

Aku membiarkan Rave menarikku mundur dan mengamati seekor tupai yang cukup besar melompat masuk. Napasku rasanya tercekat karena hewan berbulu itu seperti menyadari adanya perubahan tempat persembunyian dan bergegas memeriksa, dua bayi tupai terlihat menggeliat sebelum sang induk menutupi keduanya dengan ekor yang otomatis melengkung.

"Nah, sekarang kita bisa memindahkannya," kata Rave sebelum melepas lenganku. "Kamu punya kardus kecil? Terus selimut yang enggak terpakai?"

Pertanyaan itu membuatku merasa harus memastikan, "Kamu mau memindahkannya?"

"Ya, aku bisa... dan bau manusia pada bayi tupai enggak akan membuat induknya kebingungan dalam mengenali anaknya."

Bukan itu maksudku, aku mengendik ke bekas-bekas basah yang ada di sekitar tumpukan pot yang tampaknya Rave bongkar untuk menemukan bayi tupai itu. "Mereka pasti buang air, 'kan di sana? Bagaimana jika mereka enggak diberi vaksin lalu kamu diserang, tergigit?"

"Jangan khawatir, asal bukan sengatan lebah, bukan masalah bagiku."

"Sengatan lebah?"

Rave mengangguk, "Aku punya alergi terhadap sengatan lebah," katanya lalu segera menambahkan, "Atau, kalau kamu khawatir, jika ada sarung tangan plastik, aku bisa memakainya."

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang