Prolog

14.8K 2.3K 253
                                    

Hanya ada satu alasan yang membuat Rave bersedia menemani neneknya berjalan sore, menyapa setiap penghuni rumah perawatan khusus orang lanjut usia. Alasan itu terdapat di rumah nomor delapan, blok A, yang berhadapan langsung dengan danau buatan di kawasan Kusuma Wijaya Senior Living ini. Sepasang matanya mengerjap jernih begitu melihat pucuk-pucuk lavender bermekaran, kali ini ditambah pot-pot bunga iris yang kuncupnya mulai menampakkan warna biru cerah.

"Oh, ibu Asoka sedang dikunjungi, sebaiknya kita jangan mengganggu."

Rave menatap dua mobil sedan yang memang terparkir di luar pagar pendek. Neneknya juga langsung berbelok, melangkah ke jalan setapak di samping rumah nomor tujuh. Itu merupakan jalan pintas tercepat ke area blok B, namun itu membuat Rave tidak bisa menikmati pemandangan bunga-bunga indah yang disukainya.

Rave buru-buru menahan tangan neneknya, "Justru karena ada kunjungan makanya Nenek harus menyapa, 'kan? Barangkali keluarganya ingin bertanya kemajuan perawatan."

Daisy Dihyan menyipitkan matanya yang sudah dilapisi tiga kerutan, "Kamu dapat bocoran dari Meilan ya? Tentang cucunya ibu Asoka yang berkunjung akhir-akhir ini."

"Aku suka bunga-bunganya, aku mau memotretnya lagi." Rave menunjukkan kamera pocket dari dalam saku celana monyetnya. "Aku mau buat video timelapse... sebelumnya aku sudah memotret ketika tanamannya dipangkas, lalu kuncup pertama mulai muncul dan sekarang saatnya memotret lavender yang berbunga penuh."

"Ah, yang benar? Cucunya ibu Asoka lumayan menggemparkan para perawat."

Rave mengingat-ingat, minggu lalu saat memotret kuncup pertama lavender ia memang disapa seorang kakak perempuan yang sangat cantik dan modis. "Wajar kalau menggemparkan."

"Tuh, 'kan! Memotret bunga hanya akal-akalanmu."

Rave berdecak, "Aku janji enggak akan mengganggu, aku akan tinggal di halaman, mengambil foto bunga-bunganya."

"Awas ya kalau membuat para tamu enggak nyaman. Mengambil foto pengunjung atau keluarga pasien tanpa izin adalah pelanggaran." Daisy mengingatkan.

Rave memutar kedua bola matanya dengan agak dramatis, secantik apapun kakak perempuan yang ia temui minggu lalu tidak sampai membuatnya ingin bersikap begitu. Hanya tanaman berbunga indah di halaman rumah nomor delapan itu yang menarik minatnya. Rave membuntuti neneknya yang kembali mengubah langkah.

Rave tersenyum saat Neneknya mulai mengucap salam, mendengar sahutan suara yang cukup kompak dari dalam rumah, ada empat sampai lima suara berbeda. Rave tidak memperhatikan orang-orang yang kemudian keluar dari rumah mungil itu. Rave sudah fokus memperhatikan tanaman lavender saat mendengar neneknya berbasa-basi dengan suara perempuan yang ramah dan dipersilakan memasuki rumah.

Rave mengeluarkan kamera, berjongkok dan memeriksa arah bidikan sebelum menekan tombol pengambil gambar. Ia memotret beberapa kali, diam-diam tersenyum karena warna bunganya cantik sekali, pemangkasan memang efektif untuk kembali merangsang pertumbuhan bunga. Rave mengamati wadah semai khusus di dekat anakan tangga pertama, ia penasaran bunga apa lagi yang akan ditanam.

"What are you doing?" tanya sebuah suara, bukan suara perempuan, melainkan lelaki.

Rave mendongak, menatap remaja lelaki yang sepertinya sepantaran dirinya menunduk ke arahnya dari teras. Rave menelan ludah, baru kali ini ia melihat remaja lelaki perpaduan Edward Cullen, si vampir Twilight dan Mas Kulin dari film komedi Terlalu Tampan. Maksud Rave adalah, lelaki itu jelas punya wajah peranakan Eropa namun warna mata dan rambut gelapnya merupakan pengecualian, itu sepertinya turunan gen lokal, Indonesia punya.

"I'm taking picture of these lavenders," jawab Rave.

"Are you done?" tanya remaja lelaki itu lagi.

Rave memang sudah mengambil beberapa gambar, ia mengangguk dan segera berdiri. Rasanya pegal berada pada posisi berjongkok dan harus mendongak pada remaja lelaki itu.

"Want to come in? Get some cookies and have a tea." Kali ini pertanyaan itu diikuti gerakan menunjuk ke belakang dengan jempol, maksudnya masuk ke dalam rumah hunian di belakangnya.

Rave menggeleng, ia baru akan beralasan ketika perhatiannya teralihkan seekor serangga yang tiba-tiba terbang mendekat. "No! No! Please... go away," ucapnya berulang-ulang sebelum mencoba menjauh.

Rave sama sekali tidak menyadari bahwa serangga itu tidak terbang sendirian, ketika ia menghindari satu yang terlihat matanya, satu lagi yang tidak ia perhatikan hinggap di lengannya dan meninggalkan satu sengatan. Rave menyadarinya dan dengan cepat kepanikan melanda, membuat napasnya berubah terjeda-jeda. Remaja lelaki yang semula bingung segera mendekat, memegangi Rave yang langsung jatuh terduduk, ia berteriak memanggil bantuan.

"D... doc... doc—" Rave kesulitan memberi tahu bahwa keadaannya harus ditangani dokter, ia punya alergi sengatan lebah yang cukup akut.

"It's okay, doctor will coming to us! Uncle, please hurry... I thought it's anaphylactic."

Rave mencoba mengangguk, benar itu adalah jenis syok yang sedang dialaminya dan ia butuh suntikan. Diantara kesadarannya yang nyaris timbul tenggelam Rave memperhatikan orang-orang keluar dan neneknya mulai menangis. Kakak perempuan yang Rave temui minggu lalu mencoba menenangkan Daisy.

Ada seorang lelaki dewasa yang kemudian mengeluarkan sebuah tas medis, Rave masih cukup sadar ketika dirinya dibaringkan, diperiksa dan oxycan dikeluarkan untuk membantunya mendapatkan tambahan oksigen. Terasa usapan dingin sebelum sengatan lain menembus kulitnya, kali ini berasal dari suntikan yang perlahan menyamankan tubuh dan mengembalikan kemampuan bernapas Rave.

"I think it works." Suara remaja lelaki itu terdengar menembus kesadaran Rave.

"Yeah, we're lucky, Red." Suara lelaki yang lebih dewasa terdengar menyahuti sebelum menambahkan, "Tetapi kita harus tetap membawanya ke rumah sakit untuk memastikan napasnya stabil."

Rave tidak ingat apapun lagi setelah mendengar kalimat itu, tetapi ketika terbangun ia memperhatikan wajah remaja lelaki menunduk di atas kepalanya dan tubuhnya jelas berbaring di dalam kendaraan yang sedang melaju.

"Hi, it's okay... you're safe, Lavender girl."

Rave tahu rasanya konyol tapi ia mengulas senyum mendengar panggilan itu dan sepanjang perjalanan yang terasa panjang, dengan merasakan pegangan kuat yang menahan tubuhnya, juga senyum menenangkan yang Red berikan... Rave tersadar bahwa jika cinta pada pandangan pertama itu ada maka saat inilah ia mengalaminya.

[ to be continued ]

🦋
.
Sekadar memberi tahu bahwa setelah bab prolog ini, aku akan pakai POV 1 untuk bab berikutnya, POV Rave dulu, baru habis itu POV Red.

Buat yang beli buku 0.99% Match / Li(e)Us pasti ada pengalaman baca POV 1 dari sisi tokoh utama cewek dan cowok, gantian gitu sudut pandangnya.

Semoga enggak bingung ya, tapi kalau masih bingung dan enggak terbiasa, yaudah... lagi-lagi balik ke selera bacaan yah, enggak usah dipaksa cyynnn~

salam tsayang dari
#AshaFabianWedantaHarisHarshadPasque

*karena Red tyda seperti Pascal

*karena Red tyda seperti Pascal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang