RED: Florikultur

8.1K 1.9K 308
                                    

RED: Florikultur
--

"Siapa?" tanya Papa ketika aku kembali ke ruangannya.

"Pak Vido yang telepon," jawabku.

Papa melirik ke jam, "Kamu lupa memberi tahu kalau kita makan malam di luar?"

"Enggak, bukan itu, dia sedang belanja dan lihat pameran tanaman... terus ingat rencanaku untuk merenovasi rumah kaca, dia berkenalan dengan ahli florikultur dan bertanya apa kira-kira aku berminat mempekerjakannya?"

"Jawabanmu?"

Aku mengangguk, "Jika memang proposal dan presentasinya menarik, boleh saja."

"Kalau kamu hanya berniat menyerahkan renovasi itu pada seorang—"

"I'm in, okay? Aku juga akan terlibat dalam renovasi itu, jika perlu aku akan tinggal sementara di Pasque House," selaku cepat.

Wajah Papa mendadak cerah setelah mendengar penyelaanku, "Itu ide bagus, Red."

"Aku akan mengajak Mama tinggal bersamaku setiap akhir pekan," tambahku.

"Jangan bertingkah kekanakan! Orang tuamu perlu privasi sebagai pasangan."

Siapa yang sebenarnya bertingkah kekanakan? Aku geleng kepala lalu kembali duduk di kursi, selama dua jam terakhir kami meneruskan pembahasan tentang kursi roda buatanku yang akhirnya dapat berjalan setelah elektromagnetisnya kubongkar ulang.

"Soal rumah kaca itu, kamu sudah bicara pada Masayu?" tanya Papa.

Aku mengangguk, "Mama bilang akan menelepon pegawai di Majalengka untuk mengirimkan beberapa tanaman, termasuk koleksi mawar dan kambojanya."

"Jika diminta memilih, kamu lebih suka rumah Majalengka atau Pasque House?"

Pertanyaan itu membuatku menaikkan sebelah alis, sewaktu kecil aku memang tinggal di Majalengka, home schooling sampai waktunya masuk junior high school dan pindah ke Jakarta. Sejak pindah, aku jarang ikut jika Papa dan Mama pulang ke Majalengka. Terakhir ke sana juga sudah setahun yang lalu saat menemani Opa liburan bersama Uncle Zhao.

"Pasque House," jawabku.

Papa mengangguk-angguk, "Purp ingin mengambil alih pengelolaan Majalengka."

"What?" sebutku dengan nada terkejut yang tidak berhasil kututupi.

"Purp berencana resign setelah capaian targetnya tahun ini terpenuhi."

"Resign?" aku membeo dengan wajah yang kurasa terlihat konyol.

"Bukan tanpa alasan Purp memikirkan banyak hal agar kamu termotivasi, mengusahakan yang terbaik bagi Pasque Techno... kamu yang berikutnya harus mengurus perusahaan ini."

Aku sama sekali tidak mengerti, "Selama ini aku pikir Purp sangat..."

"Purp memang kompetitif tapi sudah saatnya dia memikirkan hal yang lebih penting."

"Aku lebih suka bekerja di divisiku sekarang."

"Papa tahu, tapi kamu enggak akan selamanya bekerja di sana." Papa memandangku lekat sebelum menambahkan, "Seperti yang Papa bilang, Pasque's legacy is in your hand."

Dan aku hanya bisa terdiam, merenung memikirkan kalimat itu.

***

"Mau membicarakannya?" tanya Al ketika aku kembali ke ruanganku.

Dia bertanya begitu pasti karena mendapati wajahku yang muram, "Bukan masalah besar."

Al bergabung di divisi ini dua bulan setelah aku masuk, pekerjaan utamanya adalah perancangan papan rangkaian cetak, sebuah item yang digunakan untuk menghubungkan komponen-komponen elektronika dengan lapisan jalur konduktor. Mulai akhir tahun nanti Al ditempatkan ke pabrik Pasque Techno di Semarang.

LAVENDER ROSE (PUBLISHED by Karos Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang