“Kunci mobil lo sini.”
Itu merupakan kalimat pertama Ian begitu kami tiba di parkiran kantor. Tangannya menengadah padaku sambil terus berjalan di sisiku yang tengah menghampiri mobilku.
Aku mengerutkan keningku padanya. “Lo mau nyetir?”
Ian mengangguk.
“Nggak!” tolakku dengan keras. Gila aja ngebiarin si Ian yang habis mabuk-mabukan ini nyetir. Aku masih sayang nyawa. “Big no! Lo masih teler gitu.”
Ian berdecak sembari menggoyangkan tangannya yang masih dalam posisi menengadah padaku. “Udah sini gue aja yang nyetir. Gue udah sadar seratus persen, Nya.”
“Enggak!”
Sekali lagi aku menolak. Walaupun Ian memang sudah kelihatan jauh lebih segar dari yang terakhir kali aku lihat, aku tetap tidak rela membiarkannya menjadi sopirku hari ini.
Kunci mobil yang sedari tadi berada dalam genggamanku pun langsung kudekap di dada, jaga-jaga kalau Ian nekat merebutnya dariku.
“Ck! Bener-bener, ya,” decak Ian.
Dia tertinggal beberapa langkah di belakangku karena aku sengaja mempercepat lajuku untuk menghindarinya.
Aku membiarkan Ian berjalan di belakang. Lebih dulu tiba di mobilku yang terparkir dan buru-buru mengambil posisi di balik kemudi. Tak lama kemudian, Ian juga ikut masuk sambil misuh-misuh. Mulutnya komat-kamit nggak jelas.
“Lagian kenapa, sih, kalo gue yang nyetir. Lebay banget, deh,” pungkasku sembari memutar kedua bola mataku dan mulai menyalakan mesin mobil.
“Nggak enak aja dilihat kalo lo yang nyetir,” balas Ian.
Kutunda sejenak niatku yang tadinya ingin langsung menjalankan mobilku. Memilih untuk berpaling pada Ian yang rupanya juga sedang menatap ke arahku sambil mendekap tote bag-ku yang sempat kulupakan.
“Nggak enak gimana?” Nadaku berubah ngotot.
“Ya nggak enak aja ngebiarin cewek nyetirin cowok.” Ian sama ngototnya denganku.
“Apaan, sih! Nggak usah bawa-bawa gender, deh.”
Kali ini Ian tidak langsung membalas. Dia malah memindahkan pandangannya ke depan dengan kedua mata yang memejam. Lantas, kedua tangannya diangkat seiring dengan hidungnya yang mengambil napas dalam-dalam. Kemudian kedua tangannya bergerak turun bersamaan dengan mulutnya yang mengembuskan napas panjang.
Dilihat dari gayanya, sepertinya dia sedang mencoba meredam emosinya dan berusaha untuk mengalah dalam perdebatan kami yang baru kusadari tidak penting sama sekali.
Ya, ampun! Kalau deket-deket Ian, tuh, bawaannya emang pingin ngomel mulu.
Aku masih memerhatikan Ian. Matanya sudah terbuka, tetapi tidak langsung kembali padaku. Dia malah mengambil ponselnya, mengotak-atik benda tersebut entah untuk apa.
“Oh ternyata lagi dateng bulan,” ucapnya tiba-tiba, tidak nyambung dengan perdebatan kami sebelumnya. “Mens hari pertama kan, Nya?” tanyanya, yang sudah mengubah arah pandangnya kembali padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy (Best) Friend
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya yang suka gonta-ganti pacar bukan hal baru lagi dan terus berlangsung sampai sekarang. Namun, apa jad...