Bab 10

29.6K 2.3K 84
                                    

Beberapa hari ini aku cukup sibuk. Ada program baru yang akan tayang perdana malam minggu nanti. Meeting telah dilakukan dengan dua orang komedian yang akan menjadi pembawa acara tetap dan sudah mencapai kesepakatan bersama.

Sayangnya, pagi tadi aku mendapat kabar buruk jika salah satu dari host dalam acara tersebut sedang tersandung skandal dan membuat timku terpaksa harus menghentikan kerja sama dengannya.

“Jadi gimana? Jadwal tayangnya kita undur aja?” Aku sedang berdiskusi dengan Raihan.

Dalam persoalan ini, tak ada pilihan yang dapat menguntungkan kami. Ibaratnya, menang jadi arang, kalah jadi abu. Mau tak mau, kami akan tetap menyelam dalam kerugian.

“Gue perlu diskusi lagi, sih, sama anak-anak. Tapi kalo saran gue, lebih baik jadwal tayangnya kita undur aja,” jawab Raihan.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku. Sepemikiran dengan Raihan. Daripada terburu-buru mencari pengganti dari host tersebut dan membuat esensi dari program tersebut hilang, lebih baik jadwal tayangnya diundur saja.

“Bilang sama anak-anak sosmed untuk tarik semua trailer program itu dari internet ya, Rai.”

“Oke, aman.”

Pembicaraanku dengan Raihan telah selesai. Pria itu sudah keluar dari ruanganku dan sedang menjadwalkan meeting dadakan dengan karyawan-karyawanku yang lainnya selepas makan siang nanti.

Kalau saja aku sedang tidak berhalangan, aku pasti yang akan memimpin langsung meeting tersebut. Sayangnya, aku harus pergi ke grand opening toko bunga milik mbak Tiara saat ini dan terpaksa melimpahkan semuanya pada Raihan.

Aku mengembuskan napas panjang sembari melemparkan punggungku hingga bersandar pada kursi. Sebelah tanganku berpindah ke kepala bersamaan dengan mataku yang kupejamkan. Kemudian kupijit pelan keningku yang berdenyut pening.

Ponselku tiba-tiba berdering, membuat mataku seketika terbuka. Kuulurkan tanganku ke depan tanpa menarik punggungku dari sandaran kursi untuk mengambil ponsel yang kuletakkan di ujung meja.

Mbak Tiara is calling.

Tanpa basa-basi aku segera mengangkat telepon dari mbak Tiara setelah menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telingaku.

“Anyaaaaa!!”

Suara nyaring mbak Tiara langsung memenuhi telingaku.

“Iya, Mbak?”

“Kamu dateng, kan?”

“Dateng, Mbak. Ini bentar lagi aku otw.”

“Awas aja kalo nggak dateng. Ini si Ian udah di sini soalnya. Mbak suruh jemput kamu sekarang, ya.”

“Gue mau jemput pacar gue, Mbak.”

Dari seberang telepon, samar-samar aku mendengar seseorang menimpali suara mbak Tiara. Dan tentu saja itu Ian. Aku hafal dengan suaranya. Tapi ... sejak kapan Ian punya pacar?

“Aku sendiri aja, Mbak. Bawa mobil, kok,” sangkalku.

“Tapi beneran dateng, kan?”

Aku menegakkan posisi dudukku sembari menyunggingkan senyum tipis. “Aku bakal dateng, Mbak. Beneran. Ini mau langsung berangkat, kok.”

“Oke, deh. Hati-hati ya, Nya.”

Panggilan singkatku dengan mbak Tiara pun berakhir. Aku lantas bergegas mengambil tasku dan memasukkan barang-barang yang kuperlukan sebelum turun ke basement untuk mengambil mobil yang terparkir di sana.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang