Bab 23

22.7K 1.7K 40
                                    

Ian membalas pelukanku usai menaruh minuman kalengnya ke atas meja. Kedua lengannya merengkuh punggungku, sementara dagunya diletakkan di satu bahuku. Beberapa kali terdengar helaan napas berat keluar dari mulutnya, seakan-akan sedang membuang beban yang menumpuk di kedua pundaknya.

Pertanyaan "kenapa" bukanlah sesuatu yang tepat untuk dikeluarkan pada situasi seperti ini. Aku tak ingin hanya dianggap sekadar kepo terhadap masalahnya meski isi kepalaku sudah sangat berisik layaknya lebah yang sedang membentuk koloni.

Dalam beberapa menit, hanya suara detak jam dinding dan napas kami saja yang terdengar. Belum ada pembicaraan sama sekali. Aku hanya mengusap-usap punggung Ian untuk menenangkannya. Menunggu dengan sabar sampai dia menceritakan segala keluh kesahnya padaku.

“Gue berasa kayak anak pungut, Nya.” Setelah tujuh sampai sepuluh menit yang begitu sunyi, Ian akhirnya buka suara. Dia tetap diam pada posisinya, tak melepas dekapan kami.

Sempat kuhentikan sejenak usapanku di punggung Ian. “Lo ngeledek gue, ya?” tanyaku, dengan maksud melempar candaan agar dia bisa sedikit terhibur.

Ian terkekeh pelan. “Nggak gitu, Anya.”

Aku menyunggingkan seutas senyum di bibir sebelum kembali melanjutkan gerakan tanganku di punggung Ian. Sepertinya dia sudah sangat nyaman dengan posisinya saat ini.

“Gue udah berusaha mati-matian,” ujar Ian, kembali melanjutkan ceritanya. “Gue ngerjain banyak proyek di perusahaan. Dari gue masih jadi intern sampe udah jadi karyawan tetap gini, gue selalu berusaha jadi yang terbaik biar nggak malu-maluin bokap gue. Tapi apa? Yang dapet promosi jadi project manager malah Rio, karyawan yang baru kerja satu tahun di perusahaan.”

Aku mendengarkan dengan saksama. Tertangkap jelas nada geram dalam kalimat Ian walau suaranya terdengar lemah. Ian seperti sedang berada di ambang kepasrahan dan kemarahan. Emosinya sangat nyata.

Aku tak pernah melewatkan sedikit pun perkembangan Ian. Dia memang agak malas semasa kuliah sehingga membuatnya harus menambah satu tahun untuk mendapat gelar sarjana, tetapi dia sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Ditambah lagi dengan niatnya yang begitu mulia, yang tidak ingin membuat ayahnya—yang notabenenya pemilik perusahaan—malu.

Bisa kurasakan seberapa besar kekecewaan Ian saat ini. Aku pun kadang ikut mempertanyakan sikap om Yarim pada Ian.

“Gue emang nggak sepinter abang sama adek gue, Nya, tapi gue juga udah berjuang banyak supaya bisa ngimbangi mereka dan seenggaknya bikin gue "terlihat" di mata bokap gue.” Ian mengembuskan napas panjang di akhir kalimat. “Gue kurang apa coba?” Dan dia mulai mempertanyakan kemampuannya sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, sudah sepatutnya aku memberi afirmasi lebih pada Ian. Maka dari itu, kulepas pelukan kami hingga kami kini saling berhadapan. Kedua tanganku serta-merta bergerak naik, menyentuh wajah Ian yang benar-benar tampak tak bergairah.

“Lo nggak kurang apa pun, Yan.” Kucoba melemparkan kalimat positif padanya dengan sungguh-sungguh. “Ini cuma masalah waktu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat buat lo.”

Ian mendecih. “Kapan, Nya? Kapan waktu yang tepat buat gue? Udah dua kali gue gagal.” Dia mengangkat kedua jarinya padaku, memberi penegasan.

Ibu jariku kuarahkan untuk mengelus wajah Ian, sekadar untuk menurunkan emosinya yang mulai menggebu-gebu. “Setiap orang punya waktu suksesnya masing-masing, Yan. Waktu lo mungkin memang bukan sekarang, tapi cepat atau lambat, lo pasti bakal ada di waktu itu. Lo cuma harus terus berusaha dengan keras supaya waktu itu bisa datang secepatnya.”

“Usaha gue selama ini kurang keras apa, sih?” Ian masih terdengar nyolot, seperti menolak semua nasihat yang terlontar dari mulutku.

Ian menarik tanganku dari wajahnya dan mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Punggungnya pun disandarkan pada sofa dengan pandangan yang sudah tak lagi bertaut denganku.

Aku menggigit bibir bawahku. Seharusnya aku tetap diam. Bukan nasihat dan motivasi yang Ian butuhkan saat ini, melainkan sebuah dukungan nyata dari perasaan yang tengah menggeluti hatinya.

Kugeser dudukku ke sisi Ian hingga badan kami saling bersentuhan. Kuambil lengan kirinya, kurangkul dengan erat sembari meletakkan kepalaku untuk bersandar pada bahunya.

“Apa pun yang terjadi, gue akan tetap ada di samping lo sampai waktu itu tiba,” kataku, dengan suara lirih sebagai kalimat penutup dari ucapan-ucapanku sebelumnya.

“Tapi gue nggak mau lo terus-terusan terjebak sama gue.”

Secepat kilat kudongakkan kepalaku, menengok Ian yang rupanya tengah menatap ke arahku juga. “Maksudnya?”

“Kita udah sama-sama dewasa. Bahkan, nggak bisa disebut muda lagi. Seharusnya kita udah bisa menentukan jalan masing-masing tanpa harus terus saling bergantung.”

“Intinya?” Aku mulai memahami ke mana arah pembicaraan Ian, tetapi aku hanya ingin memastikan jika terkaanku tentang maksud dari ucapannya benar atau salah.

Ian mengembuskan napas panjang, seolah berat baginya untuk berucap. “Kalau kita terus-terusan kayak gini, lo akan tetap jalan di tempat, Nya. Lo cuma akan ngurusi cowok nggak guna kayak gue. Padahal, lo bisa aja mulai pendekatan dengan cowok lain dan menjalin hubungan yang serius. Waktu lo rasanya kebuang sia-sia karena gue.”

Tebakanku benar. Ian kembali membahas tentang pasangan hidup. Tentang sosok lelaki seperti apa yang pantas bersanding denganku.

Netraku masih terpaku pada Ian. Aku menelan ludah susah payah sebelum kembali menyandarkan kepalaku pada pundak Ian, memilih untuk tak melanjutkan pembicaraan kami yang sudah keluar jauh dari topik pembahasan di awal. Rengkuhanku di lengannya pun sengaja kueratkan, biar dia tahu jika aku enggan mencari pria lain dan tetap ingin terus bersamanya.

Ini bukan yang pertama kali. Tiap kali Ian sedang mempertanyakan eksistensi dirinya dalam keadaan kalut seperti ini, dia pasti berusaha untuk menyingkirkanku dari hidupnya. Ian selalu menganggap dirinya sebagai benalu dalam hidupku. Dia tak pernah memikirkan bagaimana perspektifku tentangnya.

Kendati aku mencoba biasa saja dan mungkin akan berinteraksi seperti biasanya dengan Ian setelah ini, aku tetap tak bisa menampik rasa sakit yang mampir di hatiku.

Pelukanku di lengan Ian benar-benar begitu kuat sampai aku hampir meremasnya. Kugigit bibir bawahku untuk menghalau awan mendung yang hendak menjatuhiku dengan setumpuk kepedihan.

Tahan, Anya. Jangan nangis sekarang.

•••

Hari ini cuma bisa nulis segini, guys. Moga kalian masih tetap bisa menikmati Bab ini yaa😘

Btw, ceritaku yang judulnya Someone's Belonging lagi ada special offer loh, guys. Ini tuh ceritaku yang banyak banget uwu uwunya alias so sweet to the bone😭 kali aja kalian ada yang mau beli xixixi

 Ini tuh ceritaku yang banyak banget uwu uwunya alias so sweet to the bone😭 kali aja kalian ada yang mau beli xixixi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Besok kita ketemu lagi kalo Bab ini rame❤💋

4 November, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang