Bab 16

27.1K 2.1K 91
                                    

Kulipat kedua tanganku di depan dada dengan satu tangan yang memegang script. Mataku lurus ke depan, mengawasi proses syuting program baru yang kemarin sempat tertunda karena host yang bermasalah.

Setelah beberapa hari berunding dengan tim, pada akhirnya kami menemukan host yang cocok dan bisa menjadi nyawa dari program tersebut tanpa menghilangkan esensi yang sudah kami bangun sejak awal.

Senyumku mengembang lebar saat menonton dua orang host yang tengah mewawancarai bintang tamu dengan menyelipkan candaan-candaan kecil. Cukup bangga rasanya bisa menyaksikan sendiri hasil kerja kerasku dengan tim yang berakhir sukses.

“Mbak.”

Aku merasakan sentuhan kecil di lenganku yang otomatis membuatku berpaling dari set. Kutemukan salah satu karyawanku yang tadi memanggilku dan aku pun menaikkan sebelah alisku sebagai isyarat pertanyaan atas panggilannya barusan.

“Ada Mas Ian nunggu di ruangan Mbak Anya.” Dia berbisik, tak ingin mengganggu jalannya syuting yang sedang berlangsung di depan kami.

Aku hanya mengangguk dan membuat tanda "okay" dengan ibu jari dan telunjukku yang menyatu. Setelahnya, aku pamit pada sang produser.

Aku menggulung kedua lengan blazerku sampai ke siku sembari berjalan menuju ruanganku. Sempat kulihat jam tangan yang menggantung di satu pergelangan tanganku, yang kini menunjukkan pukul lima sore.

Sejak kemarin, Ian memang sudah meminta waktuku untuk menemaninya mencari apartemen. Jadi, aku tak perlu bertanya-tanya lagi apa yang membuatnya datang ke sini sepulang kerja.

“Syutingnya belum kelar?”

Pertanyaan Ian langsung menyambutku yang baru memasuki ruanganku. Dia tengah duduk di sofa, bersandar nyaman dengan satu kaki yang ditumpukan di atas kakinya yang lain. Sementara kedua tangannya direntangkan di sepanjang kepala sofa.

Aku menggeleng, melempar script yang masih berada dalam genggamanku ke atas meja kerja. Lantas, menghampiri Ian dan duduk tepat di sampingnya.

“Masih setengah jalan,” jawabku seraya mengambil botol air mineral yang selalu tersedia di atas meja dan aku pun langsung menenggaknya.

“Gapapa ditinggal?” Ian menurunkan satu tangannya, memberi ruang padaku yang hendak bersandar pada kepala sofa.

Kuanggukan kepalaku sebanyak dua kali, masih dengan pipi yang menggembung karena air yang belum kutelan.

“Ya, udah, yuk sekarang aja kalo gitu. Biar nggak kelamaan,” ajak Ian, yang sudah lebih dulu beranjak dari duduknya.

Aku meletakkan botol air mineral yang masih tersisa setengah. Kemudian, mengulurkan tanganku pada Ian, meminta bantuannya untuk menarikku yang sudah nyaman dan ada rasa mager untuk bangkit berdiri.

Ian berdecak geli, tetapi uluran tangannya tetap sampai padaku dan langsung kusambut dengan cengiran lebar.

“Naik mobil gue aja,” ujar Ian, yang berarti aku harus meninggalkan mobilku di sini sampai besok.

“Besok anterin gue ngantor kalo gitu.” Aku asal ceplos. Toh, kalau dalam keadaan seperti ini, biasanya aku akan pergi ke kantor naik taksi.

“Gue anterin. Pulangnya juga gue jemput kalo perlu.”

Aku mendecih dengan senyum yang perlahan hadir, tak bisa menampik sedikit kegembiraan yang menelusup ke dalam hatiku. Padahal, Ian sudah sering nganter jemput aku, tapi rasanya tetap bikin happy.

“Yang selantai sama unit lo emang bener-bener udah nggak ada lagi, Nya?” Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Ian saat kami sudah berada di dalam mobil.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang