Bab 22

23.9K 1.8K 62
                                    

“Yuk, pulang.” Ian kembali merangkul pundakku, mengajakku untuk melanjutkan langkah kami yang sempat terhenti.

Aku belum sempat menanyakan apa yang sedang menjadi pikirannya sampai membuatnya tampak sesedih itu, tetapi aku juga tak menolak ajakan Ian untuk bergegas pulang.

Kuembuskan napas panjang, melirik Ian sekilas yang sudah tak menampilkan raut apa pun dalam wajahnya. Bibirnya juga sudah membentuk satu garis tipis dengan pandangan lurus ke depan. Aku pun memilih untuk tetap diam, tak ingin langsung menodongkan berbagai macam pertanyaan yang mulai menghantui pikiranku.

Ekspresi penuh tanda tanya yang tergambar dalam wajahku tentu saja bisa ditangkap dengan jelas oleh Ian. Aku tahu Ian menyadari rasa penasaranku, tetapi dia malah lebih memilih untuk segera pulang daripada menjelaskannya terlebih dahulu padaku.

Kendati tak diungkapkan secara blak-blakan, aku menyadari sikapnya yang satu itu adalah bentuk dari pertahanan Ian yang ingin tetap menyimpan masalahnya untuk saat ini. Dan aku juga tak bisa memaksa dirinya untuk bercerita.

Sialnya, pertanyaan yang belum menemukan jawabannya, kini malah membentuk barisan spekulasi dalam benakku. Otakku mulai diisi dengan berbagai macam kebisingan.

Kalau kalian ingin tahu, Ian pernah dekat dengan Siren walau status mereka tak berubah menjadi sepasang kekasih. Tetapi aku rasa kedekatan mereka cukup membekas di hati Ian.

Sudah lama sekali sejak Ian terakhir kali bertemu dengan Siren. Kini mereka kembali dipertemukan, entah sengaja atau tidak. Dan salah satu spekulasi yang muncul dalam benakku tentang penyebab kesedihan Ian adalah Siren.

Ian dekat dengan Siren dalam kurun waktu kurang lebih lima bulan. Selama periode kedekatan mereka, aku memilih untuk menjauhi Ian. Toh, pada saat itu aku juga punya pacar. Jadi, aku benar-benar tutup mata akan hubungan keduanya.

Hubungan terpanjang Ian dengan seorang perempuan adalah selama lima bulan. Sosok perempuan yang berhasil membuat Ian insyaf menjadi playboy dalam jangka waktu yang cukup lama adalah Siren.

Rasanya wajar bila aku berpendapat jika yang menjadi sumber kesedihan Ian saat ini adalah Siren.

Aku menggeleng pelan, mencoba membuang pikiran-pikiran tersebut dari otakku agar suasana hatiku tak semakin buruk. Bisa-bisa aku kabur dari Ian karena terperdaya oleh pikiranku sendiri.

Aku harus tetap berpikir secara rasional, tak sekadar mengandalkan emosi sesaat. Bagaimanapun juga, aku harus tetap mendengar penjelasan langsung dari mulut Ian.

“Pasti lagi mikir yang aneh-aneh.”

Satu sentilan mendarat di keningku saat kami baru tiba di basement kantor, membuatku sadar jika mungkin Ian sedari tadi memergokiku yang tengah bergelut dengan pikiranku sendiri.

Kami seperti memiliki ikatan batin dan hal-hal seperti itu sangat mudah terbaca. Seperti halnya aku yang dapat membaca raut sendu dalam wajah Ian. Padahal, kalau orang lain yang melihatnya, Ian pasti akan terlihat biasa saja di mata mereka.

Kusentuh dahiku seraya mendongak untuk menatap Ian. Aku hanya menggembungkan pipiku dengan bibir yang mengerucut sebagai respons atas tindakannya barusan.

“Gue tadi bilang masih pengen sama lo karena gue mau curhat, Nya.” Ucapan Ian menjawab satu pertanyaan yang tadi ikut memenuhi benakku.

Pertanyaan-pertanyaan lainnya yang masih tersisa pun buyar dalam otakku, termasuk spekulasi yang hanya akan menambah beban pikiranku. Ian rupanya akan langsung menceritakan tentang kesedihannya padaku. Jadi, aku tak perlu memikirkannya sampai seberlebihan itu.

“Nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu,” lanjutnya, sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku.

Aku hanya mendengkus dengan senyum tipis yang perlahan hadir dalam bibirku. Kemudian mengangguk-anggukan kepalaku, menurutinya untuk tak lagi berpikir yang aneh-aneh tentangnya.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang