Bab 14

25.4K 2.1K 58
                                    

"Siapa, tuh, tadi?"

Ian kembali dengan pertanyaan yang langsung ditodongkannya padaku. Tubuhnya juga sudah kembali mengambil posisi di sebelahku, menatapku dengan intens.

Aku menjauhkan bibirku dari sedotan dan meletakkan gelas kaca tinggi yang berisi jus ke atas meja. Lantas, pandanganku berpaling pada Ian.

"Kepo!" sergahku sambil menjulurkan lidah.

Aku tahu siapa sosok yang Ian maksud dalam pertanyaannya. Beberapa menit sebelum Ian kembali, Andra memang masih di sini. Jadi, kemungkinan Ian masih sempat melihatku tengah mengobrol dengannya.

Ian memutar kedua bola matanya. "Serius, Anya."

"Temen gue," jawabku asal.

Ian memiringkan duduknya ke arahku. Kepalanya juga ikut miring ke satu sisi bersamaan dengan kedua lengannya yang dilipat di depan dada. Matanya pun menyipit penuh rasa curiga.

Dari gelagatnya, sepertinya Ian sedang memulai mode detektifnya alias pasti setelah ini dia akan menginterogasiku panjang lebar.

"Gue hafal siapa aja temen-temen lo, Nya," ujar Ian dengan nada suara yang berubah serius. Oh, ya ampun! Dia mulai lagi. "Jadi, siapa cowok tadi?"

Aku mendengkus pendek dan menatapnya dengan malas. "Kenalan gue."

"Barusan kenalan?"

Aku hanya mengangguk. Paling malas menghadapi Ian kalau sedang dalam mode kelewat kepo.

"Kenalan doang?"

Kalau saja aku adalah karakter dalam kartun, telingaku pasti sudah mengeluarkan asap saat ini.

"Iya, Iaaaaannn." Aku sengaja memanjangkan suaraku di akhir kalimat.

"Nggak sampe tukar-tukaran nomor, kan?" Ian tampaknya masih belum puas karena pertanyaannya tak kunjung habis.

"Nomor apa? Nomor BH?" Aku berseloroh dengan sengaja.

Ian mengembuskan napas panjang, terlihat sedang mencoba untuk mengumpulkan kesabarannya ketika menghadapi reaksiku yang sangat tidak kooperatif saat diinterogasinya.

"Gue serius, Anya. Jangan bercanda dulu." Dengan sabar Ian menegurku.

"Enggak, Ian. Nggak sampe tukar-tukaran nomor segala. Nomor HP, nomor BH, nomor sepatu. Pokoknya nggak ada sama sekali." Aku menjawab panjang lebar dengan sedikit menggebu-gebu.

Ian meluruskan kedua tangannya dan raut wajahnya tak lagi menampilkan rasa penasaran ataupun curiga. Mode interogasinya pun telah selesai dan aku sudah bisa bernapas dengan lega.

Satu tangan Ian terulur ke depan, hinggap di atas kepalaku sebelum memberi usapan-usapan kecil di sana. "Jangan kenalan sama cowok sembarangan, Nya. Apalagi kenalannya di club kayak gini. Orang-orangnya susah untuk dipercaya, terutama laki-laki. Kebanyakan mokondo." Dia terdengar menasihatiku.

Aku menarik tangan Ian dari kepalaku dan meletakkannya di atas sofa begitu saja. Pokoknya berusaha menghindari kontak fisik dalam waktu yang lama dengannya. "Lo juga termasuk salah satunya, dong?" tembakku langsung.

"Jadi, menurut lo selama ini gue cowok baik-baik, hm?" Pertanyaan Ian terdengar seperti sebuah sindiran.

Aku berdecak dengan bibir yang mengerucut ke depan. "Enggak, sih."

"Nah, ya udah." Ian menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Gue nggak mau lo dapet cowok yang modelannya kayak gue gini."

"Emangnya kenapa, sih?" Aku agak terpancing dengan ucapan Ian barusan hingga membuat suaraku terdengar tidak suka.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang