Bab 46

28.7K 1.7K 98
                                    

Hallow!

Sebelum baca Bab ini, yuk spam love di kolom komentar🤍🖤🤎💜💙💚💛🧡❤

Happy reading❤

•••

Sebuah cincin emas tersemat di jari manisku sejak dua hari yang lalu. Memandang cincin tersebut dalam waktu yang cukup lama sambil senyum-senyum nggak jelas sudah menjadi kebiasaan baruku. Rasanya tak bosan hanya diam memandang cincin tersebut. Apalagi momen saat aku dilamar oleh Ian ikut terngiang dalam benakku.

Ian sudah melamarku dua hari yang lalu. Dia meminta secara baik-baik kepada papa dan mama untuk meminangku. Berhubung orangtuaku sedang tidak bisa pulang ke Indonesia, pertemuan antara dua keluarga hanya bisa dilakukan secara online.

Bagaimanapun prosesnya, yang penting lamaran tersebut berjalan dengan baik. Papa dan mama tentu saja turut bahagia. Apalagi yang nantinya akan berakhir menjadi suamiku adalah Ian—sosok yang sudah sangat dekat dengan keluargaku sejak dulu. Mereka bisa memercayakan Ian untuk menjagaku.

Awalnya papa dan mama tidak menyangka jika aku menjalin hubungan dengan Ian. Pasalnya, mereka berpikir hubungan kami murni hanya sebatas seorang sahabat saja. Duh! Orangtuaku memang tidak peka. Tapi wajar, sih, karena beberapa tahun belakangan ini mereka tinggal jauh dariku. Jadi, mereka jarang melihat secara langsung interaksi yang terjadi antara aku dan Ian.

“Iya, deh, yang baru dilamar. Dipanggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut.”

Aku tersentak dari lamunanku saat ucapan tersebut menginterupsiku. Senyumku sempat hilang, tetapi kembali hadir kala mendapati Sita yang tengah menaikturunkan alisnya untuk menggodaku yang ketahuan senyum-senyum sendiri sambil memandangi cincinku.

“Apa, sih, Ta,” elakku, salah tingkah.

Sita terkekeh. “Boleh masuk nggak, nih?”

Aku mengangguk dengan senyum yang masih setia menghiasi wajahku. “Kenapa?” tanyaku ketika Sita sudah mengambil duduk di depanku.

“Mau laporan soal proyek baru kita, Mbak.”

Aku hanya manggut-manggut dan mempersilakan Sita untuk menjelaskan proyek baru yang sedang digarapnya.

“Jadi, udah aman semua, kan?” tanyaku usai Sita selesai berbicara.

“Aman, Mbak. Tinggal konfirmasi sama host yang satunya lagi aja.”

Okay, deh, kalo gitu.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Good luck ya, Ta!”

“Siap, Mbak!” sahut Sita dengan penuh semangat. “By the way, Mbak Anya beneran mau ambil S2 di luar negeri?”

Kupikir Sita hendak langsung pamit setelah selesai mengobrolkan proyek baru yang akan digarapnya denganku, tetapi rupanya dia tetap bertahan di tempatnya, melontarkan pertanyaan yang sering kuterima seminggu belakangan ini.

Kepalaku kuajak mengangguk sebagai respons awal atas pertanyaannya. “Kenapa emangnya?” tanyaku kemudian.

“Yah ... entar susah, dong, kalo mau diskusi sama Mbak.” Raut penuh semangat Sita telah sirna, digantikan oleh mimik wajahnya yang tampak melas.

“Kan ada zoom meeting, Ta.”

“Lebih nyaman langsung, Mbak,” sanggah Sita, terlihat tak rela dengan kebenaran dari kabar yang didengarnya tentang study S2-ku di luar negeri.

Aku terkekeh. “Nggak usah lebay, deh.”

“LDR dong, Mbak, sama Mas Ian?” Sita melayangkan pertanyaan lain. Yang satu ini lebih terkesan kepo, sih.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang