Bab 24

22.9K 1.8K 49
                                    

Dua hari setelahnya, Ian benar-benar merealisasikan niatnya untuk pindah. Dia bahkan sampai mengambil libur satu hari hanya untuk mempersiapkan kepindahannya yang sangat mendadak.

Ada banyak hal yang harus diurusnya mulai dari pagi tadi, sementara aku baru bisa membantunya sepulang kerja, saat hari sudah sore dan mungkin Ian sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya sebanyak sembilan puluh persen.

Aku sudah berada di dalam lift apartemen, naik menuju lantai unit Ian yang berada dua lantai di atas unitku. Dua kantung makanan cepat saji berada di tangan kanan dan kiriku. Anggap saja sebagai sambutan untuk tetangga baru.

Setibanya di depan unit apartemen Ian, aku langsung menekan bel sebanyak dua kali.

Tak lebih dari dua menit, pintu di depanku terbuka, memunculkan sosok Ian yang tampak lelah, tetapi tetap menyambut kedatanganku dengan senyum lebar.

Welcome to my home, Baginda Ratu,” ucap Ian, menggeser posisinya ke samping dengan satu lengan yang terulur ke depan untuk mempersilakanku masuk.

Aku berdecih geli. Lebay banget Si Ian.

Kulangkahkan kakiku ke dalam apartemennya sambil mengibaskan rambutku dengan gaya angkuh di depannya, dengan maksud untuk mendalami peran atas panggilannya barusan.

Tawa Ian pun meledak. Tangannya yang memang suka nggak bisa diem itu langsung mendarat di kepalaku dan mengacak-acak rambutku.

Kalau sedang gemas denganku, pasti yang menjadi sasarannya adalah rambutku.

“Wih! Udah rapi aja, nih,” celetukku, dengan netra yang mengitari tiap-tiap ruangan yang tengah kulewati.

“Apa, nih?” Ian mengambil bungkusan yang kubawa tanpa basa-basi, mengabaikan ucapanku barusan. Sepertinya dia lebih tertarik dengan apa yang kubawa.

“Ada pizza, spageti, dimsum, sama dessert box,” jawabku, masih sambil berjalan ke depan. “Makan, gih.”

Sempat kulihat binar di mata Ian, tampak senang dengan makanan yang kubawa. Dia lantas segera mengambil duduk di sofa panjang di ruang santai dan membuka bungkusan tersebut satu per satu.

Aku tetap melanjutkan langkahku, penasaran dengan perintilan-perintilan apa saja yang sudah berada di apartemen Ian.

Tujuan pertamaku setelah melewati ruang tamu dan ruang santai yang tak bersekat sama sekali adalah kamar tidur. Berbeda dengan unitku, milik Ian hanya punya satu kamar. Sementara ruangan yang satunya lagi adalah kantor dengan ukuran yang dua kali lebih kecil dari kamar tidur.

Aku sudah berada di kamar Ian. Kerutan di keningku muncul saat menemukan kamarnya yang masih tampak kosong. Paling hanya lemarinya saja yang diisi dengan pakaiannya. Sedangkan sprei dan gorden belum dipasang sama sekali.

“Yan!” Aku melongokkan kepalaku ke luar, memanggil Ian dengan teriakan.

“Apa?!” Ian balas berteriak. Sepertinya dia masih asyik dengan makanannya sampai enggan menghampiriku di sini.

“Kenapa sprei sama gorden lo belum dipasang?” Sama seperti sebelumnya, yang keluar dari mulutku adalah teriakan supaya dia bisa tetap mendengarku yang berjarak cukup jauh darinya.

“Gue nggak bisa!” balas Ian.

“Ish, dasar!”

Kusudahi percakapan tarzanku dengan Ian dan kembali masuk ke dalam kamarnya.

Di atas ranjang terdapat bed cover yang masih terlipat rapi. Segera kubentangkan dan mulai memasangnya di ranjang king size Ian.

Kalau melakukan hal-hal seperti ini saja nggak bisa, Ian kenapa sok-sokan tinggal sendiri segala, sih? Padahal memasang sprei merupakan salah satu basic dari pekerjaan rumah yang wajib dikuasai. Bahkan, tutorialnya pun sudah ada di YouTube.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang