Bab 7

28.8K 2.4K 63
                                    

Gara-gara kedatangan Ian yang tiba-tiba, aku jadi melupakan tante Intan yang sejak pagi tadi sudah meminta izin padaku untuk mampir ke kantor sebentar. Padahal, sebelumnya tante Intan sudah mewanti-wanti akan mampir di sekitar jam dua siang, dan tante Intan memang menepati ucapannya.

“Boleh masuk nggak, Nya?”

Aku masih membeku dengan darah yang nyaris menghilang dari seluruh tubuhku saat tante Intan menyuarakan pertanyaan tersebut. Beruntung beberapa detik kemudian akal sehatku kembali ke tempatnya semula hingga pertanyaan tante Intan berhasil kujawab meski hanya dengan anggukan samar.

Tatapanku yang sedari tadi berlabuh pada tante Intan mengikuti gerak-geriknya. Wanita separuh baya itu meninggalkan ambang pintu dan mengambil duduk di sofa panjang yang tadi dijadikan sebagai tempat Ian berbaring.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan sebongkah rasa malu yang entah sejak kapan memenuhi diriku dan mencoba bersikap biasa saja saat berhadapan dengan tante Intan.

“Mau dipendam sampai kapan, Nya?”

Pertanyaan pembuka tante Intan masih terngiang dalam benakku. Aku tidak bodoh sama sekali untuk memahami sepenggal pertanyaan tersebut. Aku mengerti pesan tersirat yang disampaikan olehnya.

Apa sikapku selama ini terlihat sejelas itu sampai tante Intan bisa mengetahuinya?

Ah, entahlah.

Aku hanya berharap tante Intan tak lagi membahas soal pertanyaan ambigunya itu. Sebab, aku tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa.

Aku bangkit dari posisiku, bersiap untuk menghampiri tante Intan yang tengah mengeluarkan beberapa wadah makanan dari paper bag yang dibawanya. Dan embusan napasku yang terkesan panjang tak kunjung berhenti sebelum mengambil duduk di sampingnya.

“Kok banyak banget, Tan?” Meski suaraku terdengar stabil, nada kikuk masih terselip di dalamnya.

“Kan buat dibagi-bagi sama yang lain juga, Nya,” jawab tante Intan yang hanya menoleh sekilas ke arahku sebelum kembali memisahkan wadah-wadah tersebut menjadi beberapa bagian.

Tante Intan memang rajin membuat makanan. Dan makanan yang dibuatnya selalu dalam porsi besar. Katanya anak-anaknya banyak, termasuk aku yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Betapa beruntungnya aku.

“Ini nanti kamu kasih ke Raihan, ya.” Tante Intan menunjuk dua wadah berbentuk persegi. “Yang ini buat kamu sendiri.” Telunjuknya beralih ke dua wadah makanan lainnya sambil menatapku sejenak. “Nah, sisanya entar buat karyawan kamu di sini.”

“Nggak perlu sebanyak ini, lho, Tan. Raihan sama aku juga bisa sharing.”

Aku kadang heran dengan tante Intan yang bisa sebaik ini pada orang-orang di sekitarnya. Padahal, dia tidak perlu repot-repot membawa makanan sebanyak ini untuk orang-orang yang kerja di sini. Cukup untukku dan mungkin Raihan—yang katanya ingin dijodohkan dengan Lana.

“Nggak apa-apa. Tante bikin banyak. Lagian Tante malah seneng kalo orang-orang pada makan hasil masakan Tante,” tutur tante Intan dengan senyum khas keibuannya.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi selain mengucap banyak terima kasih pada tante Intan. Kalau saja tidak ada tante Intan, mungkin tak akan ada sosok yang bisa memberikan perhatiannya selayaknya seorang ibu kepadaku.

Duh! Tante Intan emang idaman banget. Calon mertua idaman.

“Ya, udah, kalo gitu Tante pulang dulu ya, Nya.” Tante Intan berpamitan sembari membereskan barang-barangnya di atas meja.

“Lho, kok udah mau pulang aja sih, Tan? Ngeteh dulu kali, biar aku minta OB buat bikinin teh.” Aku menunjukkan ketidasukaanku atas gagasan tante Intan sambil cemberut. Tak lupa pula membantu tante Intan yang sedang beres-beres.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang