Bab 20

26.5K 1.9K 91
                                    

Butuh waktu kurang lebih dua jam bolak-balik dari kantor ke bandara. Dua jamku yang sangat berharga itu seharusnya bisa kugunakan untuk bekerja, merangkai ide-ide yang sudah memenuhi otakku. Namun, dua jamku itu malah berakhir sia-sia.

Aku tak bermaksud hitung-hitungan atas permintaan mama yang memintaku untuk menjemput Siren. Andai saja tanggapan Siren tak seketus tadi dan berbicara baik-baik padaku kalau dia sudah memesan taksi, aku tak akan sekesal ini.

Tapi apa yang aku harapkan dari Siren? Sejak dulu sifatnya memang seperti itu. Dia selalu membenciku secara terang-terangan. Padahal, aku sudah sering mencoba untuk mendekatinya selayaknya seorang kakak pada adiknya.

Huh! Rasa sebalnya masih bikin geram. Aku sampai mengentak-entakkan kakiku sambil misuh-misuh saat hendak keluar dari terminal internasional.

Siren? Tentu saja dia sudah menghilang dari pandanganku. Sengaja berjalan dengan langkah cepat agar aku tak bisa menyusulnya.

Memangnya dia pikir aku akan menyusul dan menahannya gitu?

Ya, jelas enggaklah! Kesibukanku juga banyak.

Aku mendadak mengerem langkahku saat kurasakan satu tepukan ringan di pundakku. Aku langsung berbalik sebagai bentuk dari antisipasi, jaga-jaga kalau ada orang yang hendak melakukan tindak kejahatan padaku—seperti hipnotis misalnya. Itu, kan, sedang marak saat ini.

“Anya, kan?”

Namun, sepertinya pikiran burukku tak menjadi nyata. Sebab, yang tampak dalam netraku saat ini adalah sesosok pria jangkung nan rapi yang tampak tak asing di mataku. Sejenak, aku menyipitkan mata untuk mengingat sosoknya.

“Aku Andra. Yang ngajakin kamu kenalan di club waktu itu.” Belum sempat bertanya, dia langsung membeberkan identitasnya dan membuat otakku mengingatnya dengan cepat.

“Ah! Andra.” Suaraku bersuka ria, menunjukkan antusiasku saat bertemu dengannya.

Sudah satu minggu berlalu sejak pertemuan pertama kami di kelab malam waktu itu. Aku hampir tidak mengenalinya karena tak pernah ada lagi interaksi di antara kami sejak saat itu. Padahal, aku sudah memberikan nomor ponselku padanya.

Katanya, sih, Andra akan menghubungiku, tetapi sampai detik ini aku tak kunjung menerima pesan maupun telepon darinya sama sekali.

“Kamu apa kabar?” Andra tersenyum lebar, tampak senang melihat responsku. Dia lantas mengulurkan tangannya padaku.

Aku menyambut uluran tangannya dan kami berjabat tangan selama beberapa saat. “Good,” jawabku kemudian, dengan bibir yang juga ikut merekahkan senyum lebar.

“Kebetulan banget ya kita bisa ketemu lagi di sini,” paparnya, basa-basi. “Kamu ngapain di sini?”

“Niatnya, sih, mau jemput seseorang, tapi yang mau dijemput malah pengen pulang sendiri.” Aku mengedikkan kedua bahuku sambil mempertahankan senyum dalam wajahku.

Andra menaikkan sebelah alisnya. Tampaknya dia penasaran dengan kalimatku barusan, tetapi dia hanya menanggapinya dengan kekehan kecil.

“Kamu sendiri ngapain?” Gantian aku yang bertanya sambil memerhatikannya dari atas sampai bawah.

Andra mengenakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kemeja garis-garis. Cukup rapi untuk seseorang yang hendak bepergian menggunakan pesawat. Namun, aku tak menemukan koper di sekitarnya. Kedua tangannya juga kosong.

“Aku juga mau jemput seseorang, sih—adikku.” Dia melirik jam di pergelengan tangannya sekilas sebelum kembali padaku. “Bentar lagi pesawatnya landing.”

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang