Bab 31

21.7K 1.7K 80
                                    

Ibu Ratna Indrawari:
Halo, Anya! Nanti sore bisa ketemu sebentar? Saya ada perlu sama kamu.

Tanpa sadar, embusan napas keluar deras dari mulutku usai membaca sederet pesan teks yang masuk ke dalam ponselku. Wanita yang bernama Ratna Indrawari ini sudah lama sekali tidak menghubungiku, dan aku tahu apa tujuannya mengajakku bertemu.

“Kenapa?”

Aku mendongakkan kepalaku, menatap Andra yang tampak heran dengan perubahan raut wajahku yang mungkin begitu kentara. Aku lantas menggeleng dan memberinya seutas senyum tipis sembari meletakkan kembali ponselku di atas meja.

“Kayaknya entar malem aku nggak bisa makan malam bareng kamu, deh. Nggak papa?” tanyaku, meminta persetujuan Andra.

Aku dan Andra semakin dekat. Hubungan kami cukup intens. Saking dekatnya kami, aku bahkan sudah jarang sekali melewatkan makan siang dan malam tanpa kehadiran Andra. Hampir setiap hari dia menghampiriku hanya untuk sekadar makan bersama.

Sisi positifnya, sih, kedekatan di antara kami jadi semakin erat dan kami bisa saling mengenal lebih jauh. Namun, aku tetap tak bisa menampik jika aku jadi tidak bisa sebebas dulu. Waktu luang yang kupunya, semuanya habis hanya untuk Andra seorang.

“Kenapa emangnya?” Andra menaikkan sebelah alisnya. Dia lantas mengambil gelas panjang berisi air mineral untuk diteguknya tanpa melepas pandangannya dariku.

“Aku ada urusan penting sore nanti. Kayaknya, sih, bakal lama.”

Kerutan di dahi Andra makin dalam saat dia meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong ke atas meja. “Sepenting apa? Dan sama siapa?”

Nah! Sifat posesifnya itu selalu muncul tiap kali aku meminta izin untuk pergi seorang diri.

“Sama klien aku.” Aku terpaksa berbohong. Tidak mungkin aku membeberkan siapa sosok yang akan kutemui sore nanti padanya.

Satu alis Andra masih menukik tajam. Tatapannya padaku pun menyipit, seakan-akan tak dapat memercayai ucapanku. “Aku boleh ikut, kan?”

Kalau saja aku tidak akan bertemu dengan Ratna Indrawari, aku pasti sudah mengiyakan permintaannya—walau sejujurnya aku merasa sulit bernapas karena Andra selalu mengawasiku dan enggan berjauhan dariku barang sedetik pun.

“Pertemuan kali ini private banget. Jadi, sorry, aku nggak bisa ngajak kamu.” Kuusahakan kalimat itu keluar dengan nada penuh penyesalan, didukung oleh ekspresiku yang kubuat memelas. Semata-mata agar Andra berhenti menyanggahku dan menerima dengan lapang dada kalau dia tidak bisa ikut denganku sore nanti.

“Aku bisa nunggu di luar sampai kamu selesai.”

Sial! Belakangan ini Andra memang susah sekali untuk dibantah. Kemauannya seolah-olah harus terus kupenuhi. Jujur, kadang aku muak dengan sifatnya yang satu itu.

“Bisa, kan?” Andra kembali buka suara sebelum aku sempat menjawabnya. Dia benar-benar terdengar memaksa.

Kuhela napas panjang dan menahan agar tak memutar kedua bola mataku di hadapannya. “Kali ini beneran nggak bisa, Andra. Klien aku yang satu ini berbeda.”

“Oh, ya?” Dia masih menampakkan kecurigaannya padaku. “Memangnya dia siapa?”

“Kalo aku kasih tahu kamu, itu namanya bukan private lagi.” Dia gagal memancingku.

“Cewek atau cowok?”

Ya, Tuhan!

“Cewek.”

Kali ini Anda terdiam cukup lama sambil mengusap-usap dagunya, seakan sedang menimbang segala sangkalanku. Setelahnya, dia lalu mengangguk dan berucap, “Okay.”

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang